Slogan-slogan Serangan Amerika
A. Demokrasi
Demokrasi, merupakan standar format politik dalam ideologi Kapitalisme. Artinya, Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang harus diterapkan oleh negara-negara Ka-pitalis dan negara-negara lain yang mengikuti serta meniru-niru negara-negara Kapi¬talis.
Menurut para penganutnya, Demokrasi berarti peme-rintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat; dengan menjalankan peraturan yang dibuat sendiri oleh rakyat.
Tak sedikit kaum Kapitalis yang menyebut sistem Ka-pitalisme mereka sebagai "sistem Demokrasi". Penyebutan ini tidak tepat, berdasarkan beberapa argumen berikut. Yang utama, bahwa Demokrasi bukanlah pemikiran orisinal kaum Kapitalis. Orang Yunani telah lebih dahulu mencetuskannya. Disamping itu, kaum Kapitalis bukan satu-satunya pihak yang menerapkan Demokrasi, karena kaum Sosia¬lis Marx juga mengaku diri sebagai kaum Demokrat. Sampai di akhir hayat ideologi Sosialisme, kaum Sosialis tetap mengklaim bahwa mereka telah menerapkan Demokrasi.
Aspek terpenting dalam Demokrasi, adalah ketetapan-nya bahwa pihak yang berhak membuat hukum (Al Musyarri') adalah manusia itu sendiri, bukan Al Khaliq. Ini logis saja bagi penga¬nut ide pemisahan agama dari kehi- dupan (sekularisme), karena pemisahan agama dari kehi- dupan itu berarti memberikan otoritas menetapkan hukum kepada manusia, bukan kepada Al Khaliq.
Dalam hal ini, kaum Kapitalis tidak pernah membahas apakah Al Khaliq telah mewajibkan manusia untuk mengi-kuti dan menerapkan syari'at tertentu dalam kehidupan mereka. Bahkan, mereka sedikit pun tak pernah memper-debatkan masalah ini sama sekali. Mereka hanya menetap-kan, bahwa yang berhak membuat hukum adalah manusia. Titik.
Bagi kaum muslimin, hal itu berarti tindak pembang-kangan dan pengingkaran terhadap seluruh dalil yang qath'i tsubut (pasti sumbernya) dan qath'i dalalah (pasti penger-tiannya) yang mewajib¬kan kaum muslimin untuk mengikuti syari'at Allah dan membuang peraturan apa pun selain sya-ri'at Allah. Na'udzu billah min dzalik.
Kewajiban di atas diterangkan oleh banyak ayat dalam Al Qur'an. Dan lebih dari itu, ayat-ayat yang qath'i tadi menegas¬kan pula bahwa siapa pun yang tidak mengikuti atau menerapkan syari'at Allah, berarti dia telah kafir, dzalim, atau fasik. Allah SWT berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَـا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولئِكَ هُـمُ الْكَافِرُوْنَ
"Siapa pun yang tidak memutuskan perkara hukum/politik menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir." (Q.S. Al Maaidah : 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَـا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولئِكَ هُـمُ الظَّالِمُوْنَ
"Siapa pun yang tidak memutuskan perkara hukum/politik menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang dzalim." (Q.S. Al Maaidah : 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَـا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولئِكَ هُـمُ الفَـاسِقُوْنَ
"Siapa pun yang tidak memutuskan perkara hukum/politik menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik." (Q.S. Al Maaidah : 47)
Berdasarkan nash ayat di atas, maka siapa pun juga yang tidak berhukum (menjalankan urusan pemerintahan) dengan apa yang diturunkan Allah, seraya menging¬kari hak Allah dalam menetapkan hukum --seperti halnya orang-orang yang meyakini Demokrasi-- maka dia adalah kafir tanpa keraguan lagi, sesuai nash Al Qur'an yang sangat jelas di atas. Hal ini karena tindakan tersebut --yakni tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan menging-kari hak membuat hukum yang dimiliki Allah-- berarti ingkar terhadap ayat-ayat yang qath'i dalalah. Padahal orang yang mengingkari ayat yang qath'i adalah kafir, dan ini disepakati oleh seluruh fuqaha.
Kaum kafir dan antek-antek mereka --yaitu para penguasa negeri-negeri muslim--, juga seluruh propagandis Demokrasi dari kalangan kaum muslimin yang tertipu --baik individu maupun kelom¬pok--, sesungguhnya memahami be-nar bahwa asas Demokrasi itu harus ditegakkan dengan tindakan membuang syari'at Allah dan menempatkan manu-sia pada posisi Al Khaliq.
Oleh karenanya, mereka tidak menjajakan Demokrasi dengan cara mengungkapkan hakekat itu, akan tetapi mereka mengatakan bahwa Demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Mereka katakan pula bahwa Demo-krasi adalah meratakan persamaan di antara rakyat, menye-barkan keadilan, serta mengoreksi dan mengk¬ritik pemerin-tah. Mereka tidak menyinggung-nyinggung sedikit pun me-ngenai tindakan membuang syari'at Allah itu, padahal substansi (inti) Demokrasi --dari awal sampai akhir-- tiada lain adalah tindakan membuang syari'at Allah dan mengikuti syari'at makhluk-Nya.
Adapun ide-ide lain yang --katanya-- merupakan ide Demokra¬si, sebenarnya tidak ada faktanya sama sekali. Ide bahwa rakyat yang memerintah dirinya sendiri, misalnya, sebenarnya hanyalah sebuah kebohongan besar. Sebab, da-lam masyarakat-masyarakat Kapitalis-Demokrasi, yang me-merintah bukanlah rakyat itu sendiri. Ide ini memang hanya sebuah utopia belaka.
Yang memerintah di sana, sebenarnya adalah golongan yang berpengaruh kuat dalam masyarakat mereka. Kalau di AS, mereka adalah para kapitalis raksasa. Sedang di Inggris, mereka adalah para bangsawan. Inilah fakta yang ada di AS dan di Inggris. Padahal kedua negara ini adalah negara-negara Kapita¬lis-Demokrasi yang ada di barisan terdepan.
Kelompok-kelompok berpengaruh di negara-negara Kapitalis tadi, mempunyai sarana-sarana yang memadai un-tuk menghantarkan siapa saja yang mereka kehendaki agar dapat duduk di tampuk pemerintahan dan dewan-dewan le-gislatif. Dengan demikian, undang-undang yang diberlaku-kan dan pihak eksekutif yang melaksanakan undang-undang itu, tak lebih hanya akan tunduk untuk melayani kepenting-an-kepentingan kelompok berpengaruh tersebut.
Ide-ide lain yang --katanya-- juga merupakan ide Demokra¬si, seperti persamaan, keadilan, dan hak mengkritik penguasa, semuanya juga cuma sebatas teori. Tak ada fakta-nya. Cukuplah seseorang mengamati kenyataan yang ada di AS --gembong demokrasi di dunia itu-- dengan seksama. Niscaya dia akan dapat menyimpul¬kan bahwa persamaan, keadilan, dan kritik kepada pemerintah di sana, semuanya serba diskriminatif.
Mereka yang dapat menikmati dan menjalankan hak-hak itu hanya orang-orang tertentu dengan warna kulit, aga-ma, dan asal-usul tertentu, atau orang-orang dengan sejum-lah harta kekayaan tertentu.
Lihatlah penderitaan memilukan yang dialami oleh orang-orang kulit hitam, orang-orang Indian berkulit merah, orang-orang yang bera¬sal dari Amerika Latin dan Asia, juga orang-orang yang non Protestan atau yang tidak berasal dari Eropa Barat.
Semua penderitaan mereka ini sudah cukup menjadi bukti bahwa apa yang --katanya-- menjadi ide-ide Demokra-si, pada hakekatnya hanyalah teori kosong belaka. Cuma teori. Meskipun, memang ka¬dang-kadang terjadi juga hal-hal janggal yang berbeda dengan kondisi yang telah diterangkan tadi.
Maka dari itu, seorang muslim tidak dibolehkan mene-rima ide Demokrasi, sebab Demokrasi adalah suatu kekufu-ran dan memberikan kepada manusia hak yang seharusnya merupakan hak Al Khaliq sema¬ta.
Bahkan lebih dari itu, setiap individu muslim wajib membuang dan mengenyahkan Demokrasi serta menentang dan melawan siapa pun yang berusaha menjajakan Demo-krasi yang kufur itu.
B. Pluralisme
Ide Pluralisme dalam ideologi Kapitalisme lahir dari pandan¬gan mereka terhadap masyarakat. Menurut mereka, masyarakat tersu¬sun dari individu-individu, dan individu-individu ini memiliki beraneka ragam keyakinan, opini, ke-pentingan, asal-usul, dan kebutuhan.
Maka atas dasar itu, mereka berpandangan bahwa su-dah merupakan keharusan, bahwa dalam masyarakat akan terdapat golongan-golongan yang berbeda-beda. Setiap go-longan mempunyai tujuan dan target tersendiri, yang harus diwakili oleh partai, gerakan, atau organ¬isasi. Dan setiap partai, gerakan, atau organisasi ini harus diakui eksistensinya dan diberi kesempatan untuk ikut berpartisi¬pasi dalam kegia- tan politik. Jadi, Pluralisme dalam pandangan Kapitalisme merupakan kebalikan dari ide kelompok tunggal atau partai tunggal.
Namun demikian, Pluralisme ini sebenarnya adalah kemajemukan yang harus disesuaikan sedemikian rupa deng-an format sistem politik Kapitalisme. Sehingga oleh karena-nya, dalam masyarakat Kapitalis tidak ada tempat bagi go-longan yang tidak mempercayai ideologi Kapitalisme, atau kelompok yang berjuang untuk menghan¬curkan sistem Kapitalisme yang ada.
Logika ini, yakni logika kemajemukan partai sesuai aqidah tunggal atau format sistem politik tunggal, sebenar-nya diakui pula keberadaannya oleh Islam. Hanya saja, tentu hal ini bukanlah Pluralisme seperti yang digembar-gem-borkan oleh orang-orang Kapitalis.
Islam memang membenarkan kemajemukan berbagai partai dan gerakan, selama mereka tetap mendasarkan diri pada Aqidah Isla¬miyah. Namun, Islam tidak mentolerir ke-beradaan partai atau gerakan yang bertujuan merobohkan sistem politik Islam. Jadi, keberadaan partai dan gerakan apa pun tetap dibenarkan selama mereka tetap berpedoman dengan pendapat-pendapat yang Islami, yakni pendapat-pendapat yang terpancar dari Aqidah Islamiyah atau yang dibangun di atasnya.
Tetapi sekali lagi, ini bukan berarti Islam menerima ide Pluralisme secara mutlak, atau menerima Pluralisme dalam penger-tiannya menurut Kapitalisme seperti yang dipropagan-dakan oleh Amerika dan Barat pada umumnya. Sebab, Plu-ralisme dalam Kapita¬lisme lahir dari aqidah Kapitalisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan.
Berdasarkan Pluralisme sesuai pengertian ideologi Ka-pitalis¬me tersebut, maka dibolehkan berdirinya partai atau gerakan yang mengajak kepada aqidah kufur, semisal pemi- sahan agama dari kehi¬dupan. Atas dasar Pluralisme itu, dibo- lehkan juga adanya partai yang berdiri di atas asas yang diharamkan Islam, seperti partai yang berasaskan Nasional-isme dan Patriotisme. Begitu pula berdasarkan Pluralisme dibolehkan berdirinya gerakan-gerakan yang mengajak ke-pada apa yang diharamkan Allah, seperti melakukan pe-nyimpangan seksual dan perzinaan, serta dibenarkan pula adanya kelompok-kelompok yang membela perjudian, mi-numan keras, aborsi, dan kebebasan wanita. Demikian sete-rusnya.
Seorang muslim tidak boleh menerima Pluralisme yang dipropa¬gandakan AS itu dan tidak boleh pula menerima Pluralisme secara mutlak. Sebab, menerima Pluralisme ber-arti membenarkan adanya seruan-seruan kepada kekufuran dan segala sesuatu yang diharamkan Allah.
Sungguh, Pluralisme adalah ide yang tidak akan pernah diter¬ima oleh seorang mu'min yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab dia mengetahui --berdasarkan ilmul yaqin (informasi dari wahyu yang bersifat qath'i)-- bahwa Allah di akhirat nanti akan mengazab semua orang yang melakukan kekufuran dan segala sesuatu yang diharamkan Allah.
C. Hak Asasi Manusia
Slogan ketiga yang digembar-gemborkan oleh Ame-rika dan Barat serta selalu mereka upayakan agar kaum muslimin mengambil dan mengadopsinya, ialah Hak Asasi Manusia (HAM). Slogan ini ternyata mempunyai penam-pilan yang indah dan mempesona di mata kebanyakan kaum muslimin, karena mereka memang merasakan kezhaliman, kekeja¬man, dan penindasan dari para penguasa mereka yang menjadi kaki tangan AS dan Barat.
Pemikiran mengenai HAM berpangkal dari pandangan ideologi Kapitalisme terhadap tabiat manusia, hubungan individu dengan masyarakat, fakta masyarakat, dan tugas negara.
Berkaitan dengan tabiat manusia, ideologi Kapitalisme memandang bahwa manusia itu pada hakekatnya adalah baik, tidak jahat. Kejahatan yang muncul dari manusia dise-babkan oleh penge¬kangan terhadap kehendaknya. Oleh karena itu, kaum Kapitalis menyerukan untuk membebaskan kehendak manusia agar dia mampu menunjukkan tabiat baiknya yang asli. Dari sinilah, muncul ide kebebasan yang kemudian menjadi salah satu ide yang paling meno¬njol dalam ideologi Kapitalisme.
Mengenai hubungan individu dengan masyarakat, ka-um Kapitalis memandang bahwa hubungan itu bersifat kon-tradiktif. Oleh karenan¬ya, harus ada pemeliharaan individu dari dominasi masyarakat, sebagaimana harus ada jaminan dan pemeliharaan terhadap kebeba¬san-kebebasan individu. Jadi bertolak belakang dengan opini umum pada masa Feo-dalisme bahwa kepentingan masyarakat harus didahulu¬kan daripada kepentingan individu, orang-orang Kapitalis me-nga¬takan bahwa kepentingan individulah yang harus dida-hulukan dari¬pada kepentingan masyarakat. Atas dasar ini, mereka menetapkan bahwa tugas pokok negara adalah men-jamin kepentingan individu dan memelihara kebebasannya.
Tentang fakta masyarakat, kaum Kapitalis berpanda-ngan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu-indi-vidu yang hidup bersa¬ma di suatu tempat. Jadi apabila kepentingan individu-individu itu terjamin penuh, maka secara alami akan terjamin pula kepen¬tingan masyarakat. Demikianlah.
Sesungguhnya, seluruh pemikiran kaum Kapitalis me-ngenai tabiat manusia, hubungan individu dengan masyara-kat, fakta masyara¬kat, dan tugas negara; tak lebih hanyalah setumpuk kesalahan belaka.
Sebab, tabiat manusia sesungguhnya bukanlah baik seperti yang dikatakan oleh orang-orang Kapitalis. Begitu pula bukan jahat sebagaimana pandangan Gereja yang berasal dari filsafat-filsafat kuno yang dibangun atas dasar pemahaman bahwa manusia telah mewarisi dosa Adam.
Pandangan yang benar terhadap tabiat manusia, ialah bahwa manusia itu memiliki sejumlah naluri (gharaiz) dan kebutuhan-kebutuhan jasmani (hajat al udlwiyah) yang me-nuntut pemuasan. Dengan akal yang dikaruniakan Allah, manusia kemudian mempunyai kehendak untuk memilih ja-lan yang akan dia tempuh untuk memuas¬kan naluri dan ke-butuhan jasmaninya itu.
Maka dari itu, apabila manusia memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya dengan jalan yang benar, berarti dia telah melakukan kebaikan. Sebaliknya apabila dia memenu-hinya dengan jalan yang keliru atau menyimpang, berarti dia telah melakukan keburukan.
Dengan demikian, tabiat manusia itu sebenarnya siap atau berpotensi untuk menerima kebaikan dan kejahatan se-kaligus. Dan manusialah yang memilih kebaikan atau kebu-rukan, sesuai kehen¬daknya sendiri.
Inilah pandangan yang dilontarkan Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah SWT :
وَ نَفْسٍ وَ مَـا سَوَّاهَـا فَأَلْــهَمَهَـا فُجُوْرَهَـا وَ تَقْوَاهَـا
"Dan demi jiwa (manusia) serta penyempurnaannya (cip- taannya), maka Allah-lah yang mengilhamkan (menyerukan) kepada jiwa itu memilih (jalan) kefasikan (kemaksiatan) dan ketakwaannya (ketaa¬tan kepada Allah)." (Q.S. Asy Syams: 7-8)
وَ هَدَيْنَـاهُ النَّجْـدَيْنِ
"dan Kami telah menunjukkan kepadanya (yakni manusia) dua jalan (baik dan buruk)." (Q.S. Al Balad: 10)
إٍنَّـا هَدَيْنـَاهُ السَّبِيْـلَ إِمَّـا شَـاكِرًا وَ إِمَّـا كَفُوْرًا
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (Q.S. Al Insan: 3)
Demikian pula apa yang mereka lontarkan mengenai hubungan individu dengan masyarakat, yang menurut mere-ka merupakan hubun¬gan yang berlawanan dan bertentangan, juga merupakan kesalahan.
Semuanya tidak tepat, baik pendapat orang-orang Kapitalis yang lebih mendahulukan kepentingan individu daripada kepentingan masyarakat; maupun pendapat para propagandis sistem Feodalisme yang menyerukan bahwa kepentingan individu telah tercakup dalam kepentingan kolektif/masyarakat; ataupun pendapat orang-orang Sosialis Marx yang menjadikan individu hanya sebagai gigi dalam sebuah roda masyarakat.
Hubungan yang benar adalah seperti yang digambar-kan oleh Islam, yang memandang hubungan itu sebagai hubungan keanggotaan yang bersifat saling melengkapi. Bukan hubungan yang saling berlawanan. Sebab, individu adalah bagian dari masyarakat, seper¬ti halnya tangan meru-pakan bagian dari tubuh manusia. Sebagaimana tubuh tidak lengkap tanpa tangan, maka tangan pun tidak ada artinya apabila terpisah dari tubuh.
Dalam hal ini Islam telah menetapkan hak-hak bagi individu sebagaimana Islam telah menetapkan hak-hak bagi masyarakat. Hak-hak tersebut bukan saling bertentangan ataupun berlawanan, tetapi saling melengkapi.
Demikian pula Islam telah mengatur kewajiban-kewajiban masing-masing dan menyerahkan pelaksanaannya kepada negara untuk menjamin keseimbangan antara dua pihak, agar masing-masing tidak melanggar atau mendomi-nasi pihak yang lainnya. Sebab masing-masing harus mendapat¬kan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Berkaitan dengan hal ini, tidak ada gambaran yang lebih indah untuk menun¬jukkan hubungan antara individu dan jama'ah daripada sabda Rasu¬lullah saw:
مَثَلُ القَـائِمِ علَى حُدودِ الله و الواقِعِ فيهَـا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا على سفِينَةٍ فَأَصَـابَ بعضُهُـم أَعْلاَهـا وَ بَعْضُهُـم أَسْفـلُهـا، فكَـانَ الَّذِينَ في أسْفَلِهـا إِذا اسْتَقَوا من المَـاءِ مَرُّوا عَلى مَن فَوقهم فقـالوا : لَوْ أَنـَّا خَرَقْنَـا في نَصِيبنا خَرْقًا وَ لَمْ نُؤْذِ مَن فَوقنا فإِنْ يَتركُوهم وَ مَـا أرَادُوا هَلَكُوا جميعـًا و إن أَخَذُوا على أيدِهِم نَجَوا و نَجَوْا جميعـًا
"Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang diundi dalam sebuah kapal. Sebagian mendapatkan bagian atas dan sebagian yang lain berada di bawah. Jika orang- orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Maka berkatalah orang-orang yang berada di bawah: 'Andai saja kami melobangi (dinding kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami'. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang- orang yang berada di atas (padahal mereka tidak meng-hendaki), niscaya binasalah seluruhnya. Dan jika mereka dicegah melakukan hal itu, maka ia akan selamat dan selamatlah semuanya”.
(HSR. Ahmad, Bukhari, dan Tirmidzi)
Pendapat orang-orang Kapitalis yang menyatakan bahwa masyar¬akat itu merupakan sekumpulan individu-indi-vidu yang hidup bersa¬ma di suatu tempat, adalah pendapat yang jauh dari kebenaran. Sebab masyarakat bukan hanya sekumpulan individu yang hidup bersama di suatu tempat, melainkan terdiri pula dari ide-ide dan perasaan-perasaan yang ada pada individu-individu tersebut serta sistem/pe-raturan yang diterapkan atas mereka. Dengan kata lain, ma-syarakat merupakan sekumpulan individu yang memiliki interaksi yang terus-menerus. Karena itu para penumpang kapal atau kereta tidak dapat dikategorikan sebagai masya-rakat sekalipun jumlahnya mencapai ribuan. Sebaliknya, penduduk kampung yang kecil bisa membentuk sebuah masyarakat, sekalipun jumlahnya hanya beberapa ratus jiwa.
Dengan demikian, jelaslah kesalahan ideologi Kapita-lisme dalam memahami fakta masyarakat, tabiat manusia, serta hubungan individu dengan masyarakat.
Kesalahan pemahaman mereka mengenai peran negara lebih jelas lagi. Sebab negara bukanlah alat untuk menjamin dan menjaga kemaslahatan individu saja, akan tetapi merupakan suatu institusi yang mengurusi kebutuhan indi-vidu, jamaah, dan masyarakat sebagai satu kesatuan, baik urusan dalam maupun luar negerinya, sesuai dengan per-aturan tertentu yang membatasi hak dan kewajiban mas¬ing-masing. Di samping itu negara bertugas untuk mengemban risa¬lah ke seluruh dunia, kalau memang dia memiliki risalah kemanu¬siaan, yaitu risalah yang layak untuk manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa memperhatikan per-timbangan lainnya.
Ringkasnya, atas dasar pandangan ideologi Kapitalisme terha¬dap tabiat manusia, hubungan individu dengan masya- rakat, fakta masyarakat yang menjadi tempat hidupnya, serta peran negara yang menjamin dan menjaga kemaslahatan in-dividu, maka ideologi ini menyerukan jaminan terhadap empat kebebasan bagi individu, yaitu : kebebasan beraqidah/ beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan hak milik, dan kebebasan bertingkah laku.
Kebebasan inilah yang merupakan asas HAM, sekali-gus biang keladi segala kebobrokan yang terjadi di tubuh masyarakat-masyar¬akat Kapitalis. Kebebasan di sana telah menjerumuskan manusia menjadi gerombolan binatang-binatang buas di mana yang kuat akan memakan yang lemah. Kebebasan itu telah mengakibatkan pula timbulnya kebejatan moral yang memerosotkan harkat dan martabat manusia hingga sederajat dengan binatang yang hina, karena manusia dibe¬baskan tanpa kendali untuk memuaskan kebu-tuhan naluri dan kebutu¬han jasmaninya.
Jadi, manusia dalam masyarakat-masyarakat Kapitalis tak ubahnya seperti kawanan binatang ternak, yang hanya bernafsu untuk meraup sebanyak mungkin kenikmatan fisik. Ironisnya, kenik¬matan fisik ini dianggap sebagai puncak ke-bahagiaan oleh ideologi Kapitalisme. Padahal pada hakekat-nya, masyarakat-masyarakat Kapitalis itu tak pernah menge- cap cita rasa kebahagiaan sedikit pun, sebab kehidupan mereka memang senantiasa bergelimang dengan penderi-taan, kegoncangan, dan keresahan yang tak pernah berakhir.
1. Kebebasan Beraqidah
Kebebasan beraqidah menurut kaum Kapitalis, artinya ialah manusia berhak untuk meyakini ideologi atau agama apa pun dan berhak mengingkari agama atau ide apa pun. Manusia juga dianggap berhak mengubah agamanya, bah-kan berhak tidak memper¬cayai suatu agama sama sekali.
Sebagian kaum muslimin yang tertipu oleh kaum kafir dan menjadi corong mereka, menyangka bahwa kebebasan beraqidah yang dipropagandakan oleh kaum Kapitalis itu tidaklah bertentangan dengan Islam. Mereka berargumentasi dengan firman Allah SWT :
لاَ إِكْرَاهَا فيِ الدِّيْنَ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)."
(Q.S. Al Baqarah : 256)
فَمَنْ شَاءَ فــَلْيُؤْمِنْ و َمَنْ شَاءَ فـَلْيَكْفُرْ
"Maka siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah beriman, dan siapa saja yang ingin (kafir) biarlah ia kafir."
(Q.S. Al Kahfi : 29)
Mereka sengaja pura-pura tidak mengetahui objek pem-bahasan dua nash tersebut, karena sesungguhnya seruan (khithab) dalam dua nash tersebut terbatas hanya ditujukan untuk orang-orang kafir. Jadi, kaum muslimin tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam, sebab orang-orang kafir dalam hal ini berhak untuk beriman kepada Islam dan berhak pula untuk tidak mengimaninya. Dengan demikian, kaum muslimin tidak boleh memaksa mereka untuk meng-ima¬ni Islam.
Hanya saja seruan dalam dua nash tadi tidak tepat jika diterapkan untuk kaum muslimin, sebab setelah mereka ber-agama Islam, kaum muslimin tidak diberi pilihan lagi untuk kafir atau murtad dari Islam. Hukum Islam bagi seorang muslim yang murtad, ialah diminta bertaubat agar kembali kepada haribaan Islam. Jika dia tetap bersikeras pada keka-firannya, maka kepadanya dikenakan sanksi (had) yang dite-tapkan untuk orang murtad, yaitu dihukum mati. Hal ini semata-mata dalam rangka melaksanakan sabda Rasu¬lullah saw :
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
"Siapa saja yang mengganti agama (Islam)-nya, bunuhlah dia." (HSR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Ashhabus Sunan)
Jadi, kebebasan beraqidah tidak ada dalam kamus kaum muslim¬in, bahkan sebaliknya, mereka wajib untuk terus me-meluk Aqidah Islamiyah. Seorang muslim tidak boleh me-meluk aqidah apa pun selain Aqidah Islamiyah, baik aqidah itu berasal dari agama samawi lainnya seperti Yahudi dan Nashrani, maupun dari ideologi lain, seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Dia tak boleh pula meyakini aqidah apa pun dari agama dan ide apa pun, selama itu bukan Aqidah Islamiyah.
Jelaslah, bahwa seorang muslim tidak boleh menerima ide kebebasan beraqidah yang diserukan oleh orang-orang Kapitalis. Bahkan dia wajib menolaknya dan menentang sia-pa pun yang menggem¬bar-gemborkan ide tersebut.
2. Kebebasan Berpendapat
Kebebasan berpendapat menurut orang-orang Kapitalis berarti bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapat apa saja di segala bidang dan segala persoalan tanpa terikat dengan batasan apapun.
Kebebasan berpendapat ini sangat menarik bagi seba-gian kaum muslimin, sebab mereka memang hidup tertindas di negara-negara tirani (militer), yang melarang siapa pun untuk menyatakan penda¬patnya, apabila bertentangan dengan pendapat penguasa, walau pendapat tersebut berasal dari Islam, bahkan dari ayat-ayat Al Qur'an atau hadits-hadits Nabi. Semua pendapat ini dilarang, selama yang dimaksud oleh ayat atau hadits itu bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh penguasa atau kebijakan politik yang dijalan-kannya. Hal ini sudah sedemikian rupa, sampai-sampai salah seorang penguasa kaum muslimin memerintahkankan apa-ratnya yang penindas itu untuk mencampakkan ayat-ayat atau hadits-hadits dari dinding-dinding masjid dan tempat-tempat umum lainnya serta menyobek-nyobeknya. Mereka melakukan kejahatan ini hanya karena ayat atau hadits ter-sebut menjelaskan hakekat bangsa Yahudi, seperti firman Allah SWT :
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِيْنَ آمَنُوا اليَهُوْدَ وَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا
"Tidaklah engkau dapati manusia yang paling keras per- musuhannya terhadap orang-orang yang beriman kecuali orang Yahudi dan orang-orang musyrik.."
(Q.S. Al Maaidah : 82)
Sungguhpun demikian, apa yang menimpa kaum mus-limin --yakni kejahatan dan penindasan para penguasa berikut pelanggaran mereka terhadap hukum-hukum Allah-- tetap tidak membolehkan kaum muslimin menerima apa yang dimurkai Allah, yakni menerima ide kebebasan ber-pendapat.
Kebebasan berpendapat pada ideologi Kapitalisme tidak terba¬tas pada hal-hal yang berhubungan dengan koreksi terhadap pengua¬sa, kritik terhadap sepak-terjang para politi- kus, dan yang lainnya. Ide kebebasan ini juga mencakup ke- bebasan untuk terang-terangan bersikap kufur, ingkar terha- dap adanya Allah, atau mempropagandakan ide apa saja, walaupun ide tersebut bertentangan dengan Aqidah Islami-yah atau menyalahi hukum-hukum yang terpancar dari Aqidah Islamiyah itu. Misalnya, propaganda terhadap hal-hal yang diharamkan Allah seperti praktek riba, perjudian, minu- man keras, perzinaan, penyimpangan seksual, dan segala sesuatu yang menghancurkan nilai-nilai luhur Islam yang harus kita pegang teguh dan kita jaga sesuai perintah Allah SWT kepada kita.
Kebebasan berpendapat juga berarti kebolehan bagi para agen Barat, orang-orang munafik dan orang-orang fasik serta musuh-musuh Islam untuk berpropaganda menentang Islam dan menghancurkan kesatuan umat, dengan memecah belahnya menjadi berbagai bangsa, negara, kelompok, dan golongan yang berbeda-beda. Kebebasan berpendapat juga membolehkan seruan-seruan yang bertolak dari fanatisme golongan (ashabiyah), seperti Nasionalisme, Patriotis¬me, dan sebagainya. Padahal Islam telah memerintahkan umatnya untuk menghapuskan fanatisme golongan dan mengharam-kan mereka untuk menyeru¬kannya. Bahkan Rasulullah saw pernah mengklasifikasikannya seba¬gai bangkai atau ajaran yang rusak.
Selain itu kebebasan ini juga berarti kebolehan bagi agen-agen Barat tersebut untuk menyerukan ide-ide kufur yang dijajakan untuk menjatuhkan martabat kaum wanita, menyebarkan kebejatan dan kebobrokan moral, serta me-musnahkan nilai-nilai luhur, kehorma¬tan, dan kemuliaan.
Untuk mengetahui sejauh mana kebebasan ini diberi-kan oleh orang-orang Kapitalis, cukuplah kita mengingat hu-jatan Salman Rushdi yang mendiskreditkan Nabi saw dan isteri-isteri beliau yang mulia (ummahatul mu'minin). Semua ini dibenarkan menurut prinsip kebebasan berpendapat yang digembar-gemborkan kaum Kapi¬talis.
Memang benar, bahwa Islam telah membolehkan seo-rang muslim untuk menyatakan pendapatnya terhadap segala hal dan persoalan. Akan tetapi Islam mensyaratkan bahwa pendapat tersebut wajib terpancar dari Aqidah Islamiyah atau dibangun di atasnya, serta tetap berada di dalam lingkaran Islam. Karena itu, seorang muslim berhak menyatakan pen-dapat apa saja sekalipun pendapat itu ber¬tentangan dengan pendapat yang diadopsi Khalifah dan berlawanan dengan pendapat mayoritas kaum muslimin. Tetapi tentu semua pen-dapatnya ini tetap harus bersandar kepada dalil syara' atau berada dalam batas-batas syara'.
Lebih dari itu, Islam telah mewajibkan seorang muslim untuk menyatakan pendapatnya dan mengoreksi penguasa, apabila mereka bertindak zhalim dan mengeluarkan per-nyataan atau memerintahkan sesuatu yang dimurkai Allah. Bahkan dalam hal ini Islam menseja¬jarkan aktivitas seperti ini dengan jihad fi sabilillah. Rasulul¬lah saw bersabda:
سَيِّدَ الشُّهَدَاءِ حَمْزةُ بن عَبْدِ المُطَلِّبْ وَرَجُلٌ قَامَ إلَى إمامٍ جَائِرٍ فَأمره وَ نَهَاه فَقتَلهُ
"Penghulu para syuhada' ialah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa zhalim, lalu orang itu memerintahkannya berbuat ma'ruf (menjalan- kan apa yang diwajibkan oleh syara') dan melarangnya ber- buat mungkar (kekufuran/kezhaliman/kemaksiatan), kemudi- an penguasa itu membu¬nuhnya." (HR. Al Hakim)
Sekalipun demikian, seorang muslim tidak boleh me-nyatakan pendapat yang bertentangan dengan Islam, yakni bila pendapat itu bertentangan dengan Aqidah Islamiyah atau bertentangan dengan pemikiran dan hukum yang terpancar darinya.
Maka dari itu, seorang muslim tidak diperkenankan menyerukan apa yang dinamakan sebagai kebebasan wanita, Nasionalisme, Patri¬otisme, dan sebagainya. Ia tidak boleh pula mempropagandakan ideologi-ideologi kufur seperti Ka-pitalisme dan Sosialisme atau pemikiran apa pun yang ber-tentangan dengan Islam.
Atas dasar inilah, seorang muslim tidak diperbolehkan mener¬ima ide kebebasan berpendapat yang diserukan oleh orang-orang Kapitalis. Sebab, segala pendapat yang dinya-takan seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara'. Rasulullah saw dalam konteks ini pernah bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اليَوْمِ الأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمِتْ
"Siapa saja yang telah beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menyatakan Al Khair atau diam."
(HSR. Ahmad, Buk¬hari, dan Muslim)
Al Khair dalam hadits di atas artinya adalah Islam atau apa yang dibenarkan Islam.
Selain itu, Islam juga telah melarang para pemeluknya untuk mempunyai kecenderungan --walaupun baru berupa kecenderungan-- terhadap hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Rasulullah saw bersabda :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَـا جِئْتُ بِهِ
"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sebelum hawa nafsunya tunduk kepada apa yang aku bawa (Islam)".
(HSR. Al Baghawi dan Imam Nawawi)
3. Kebebasan Hak Milik
Adapun tentang kebebasan hak milik, orang-orang Kapitalis memandang bahwa manusia berhak memiliki sega- la sesuatu sesuka hatinya dan menggunakan segala sesuatu miliknya itu sesuka hatin¬ya pula, selama hal itu tidak me- langgar hak-hak orang lain. Maksudnya, selama tidak me-langgar hak-hak yang diakui oleh sistem Kapitalisme.
Hal ini berarti manusia berhak memiliki segala sesuatu baik yang dihalalkan oleh Allah SWT maupun yang di-haramkan-Nya. Manu¬sia juga berhak menggunakan atau mengelola apa saja yang dia miliki sekehendaknya, baik dia terikat dengan perintah dan laran¬gan Allah maupun tidak sama sekali.
Sesuai dengan kebebasan ini, individu berhak memiliki bar¬ang-barang yang termasuk dalam pemilikan umum (pub-lic property) seperti ladang-ladang minyak, tambang-tam-bang besar, pantai dan sungai-sungai, air yang dibutuhkan jama'ah, dan barang-barang lain yang merupakan hajat hidup orang banyak. Individupun berhak memiliki barang-barang halal seperti rumah-rumah, kebun, toko, pabrik, sebagaimana dia juga berhak memiliki barang yang diharam¬kan Allah SWT untuk dimiliki seperti khamr (minuman keras), bank ri-bawi, peternakan babi, rumah bordil, tempat-tempat perjudi-an, dan barang-barang terlarang lainnya yang tidak boleh dimiliki menurut syara'.
Menurut ide kebebasan ini pula, seseorang berhak memperoleh atau mengembangkan harta baik secara halal seperti warisan, hibah, perdagangan, berburu, pertanian, dan industri, maupun secara haram seperti perjudian, riba, perda- gangan khamr dan obat-obat terlarang, serta usaha-usaha haram lainnya.
Dengan demikian, jelaslah kontradiksi kebebasan hak milik dengan Islam, sehingga kaum muslimin diharamkan ide kebebasan itu.
Akibat dari adopsi orang-orang Kapitalis terhadap kebebasan ini, meratalah bencana-bencana yang tiada henti-hentinya. Perbua¬tan-perbuatan hina merajalela di mana-mana dalam masyarakat Kapitalis. Kejahatan terorganisir (mafia) muncul secara terang-terangan. Sikap individualisme dan egoisme diagung-agungkan sehingga rontoklah semangat hidup berjamaah. Sikap mementingkan diri sendiri meng-gantikan sikap mengutamakan orang lain. Penya¬kit-penyakit yang menakutkan pun merajalela akibat beredarnya segala macam barang secara bebas, baik yang bermanfaat maupun yang membahayakan mereka, seperti obat-obat terlarang dan lain sebagainya.
Kebebasan ini telah menimbulkan pula akumulasi kekayaan yang melimpah ruah di tangan segelintir orang yang disebut sebagai para Kapitalis. Dengan kelebihan keka-yaannya itu, mereka berubah menjadi satu kekuatan hege-monik yang menguasai dan mengendalikan berbagai masya-rakat dan negara, baik dalam urusan politik dalam negeri maupun luar negerinya. Dari orang-orang Kapitalis inilah, diambil nama bagi sistem mereka --sistem Kapitalisme-- karena aspek paling menonjol dalam masyarakat dengan sistem ini adalah pengaruh dan dominasi kaum Kapitalis.
Di antara kaum Kapitalis ada yang menjadi pemilik industri-industri senjata dan menjadi para pelaku bisnis pe-rang. Mereka telah melibatkan berbagai negara dan bangsa yang sudah didomi¬nasi ke dalam kancah peperangan yang pada hakekatnya tidak akan pernah mempero¬leh keuntungan apa-apa dari kemelut perang yang melanda mereka. Memang, ambisi mereka dalam hal ini semata-mata hanya mengeruk keuntungan yang akan mereka peroleh dari perdagangan senjata. Mereka tak pernah peduli sedikit pun akan darah yang ditumpahkan atau bencana-bencana yang timbul akibat perang.
4. Kebebasan Bertingkah Laku
Kebebasan keempat yang dijajakan sistem Kapitalisme dan diupayakannya agar dapat terwujud dan terpelihara, ada-lah kebeba¬san bertingkah laku. Menurut Kapitalisme, kebe-basan bertingkah laku berarti setiap orang berhak menjalani kehidupan pribadinya sekehendaknya, asalkan tidak melang-gar kehidupan pribadi orang lain.
Berdasarkan hal itu, seorang pria berhak menikah; atau menggauli wanita mana pun selama wanita itu ridla. Dia ber-hak pula melaku¬kan penyimpangan seksual selama tidak melibatkan anak di bawah umur. Begitu pula atas dasar kebebasan ini, seseor¬ang berhak makan dan minum apa saja serta berpakaian seenaknya, dalam batas-batas peraturan umum. Antara masyarakat Kapitalis yang satu dengan yang lainnya, atau dari satu masa ke masa lain, sudah barang tentu terdapat perbedaan dan perubahan dalam hal batas-batas per-aturan umum tadi.
Menurut kaum Kapitalis, dalam kebebasan bertingkah laku ini tidak ada tempat bagi halal haram untuk mengatur perilaku manu¬sia. Yang penting, dia dianggap sah melaku-kan suatu perbuatan menurut undang-undang, yang dapat saja undang-undang itu berubah dan berbeda-beda sesuai konteks waktu dan tempat pada berbagai masyarakat Kapi-talisme. Jelas, agama tidak punya pengaruh sama sekali dalam kebebasan ini, sebab menurut Kapitalisme peraturan yang ada memang harus dipisahkan dari agama.
Penerapan kebebasan ini di tengah masyarakat Kapita-lis, telah membudayakan kebejatan dan kebobrokan moral sedemikian rupa, sehingga pria dan wanita di sana sudah biasa hidup bersama tanpa nikah. Bahkan, sesama pria atau sesama wanita dibenarkan dan dilindungi oleh undang-undang untuk melakukan tindak penyimpangan seksual (homo¬seksual dan lesbian).
Dalam masyarakat Kapitalis, kebebasan bertingkah laku tidak sekedar meluaskan terjadinya penyimpangan sek-sual, tapi bahkan telah menimbulkan kerusakan yang amat mengerikan yang hampir-hampir tak terbayangkan. Lihatlah, di sana banyak film-film dan majalah-majalah porno, jasa-jasa telepon seks, klub-klub nudis, kaum hippies yang hidup liar dan bebas, dan sebagainya. Semua ini tak lain adalah bukti penyimpangan dan kebejatan ma¬syarakat Kapitalis yang bersumber dari ide kebebasan bertingkah laku itu.
Kalau pun ada perbedaan tingkat kerusakan di antara masyara¬kat-masyarakat Kapitalis, sebenarnya ini disebabkan adanya perbe¬daan titik waktu kelahiran masyarakat dan fase yang ditempuhnya dalam penerapan ideologi Kapitalisme.
Hal itu dapat dipahami, karena masyarakat-masyarakat Kapita¬lis lahir di atas reruntuhan sistem Feodalisme dan ajaran-ajaran gereja yang mendominasi masyarakat dalam sistem Feodalisme. Namun demikian, adalah tidak mungkin mengubah kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masya-rakat Feodalis dalam sekejap mata. Maka, di antara kaum Kapitalis ada sekelompok orang yang mengajak untuk menghapuskan kebiasaan-kebiasaan itu sekaligus dan sesegera mungkin. Tetapi ada pula yang menyerukan keha-rusan menerima kenyataan masyarakat yang ada beserta segala kebiasaannya, seraya tetap berusaha mengubahnya dan melepaskan-nya secara bertahap dari segala nilai, ajaran, dan kebiasaan kuno dalam sistem Feodalisme.
Mereka yang mengajak untuk menerapkan kebebasan dengan segera itu disebut sebagai orang-orang Liberal. Sedang yang berusaha menerapkannya secara bertahap, dise-but dengan kaum Konservatif. Di tengah-tengah dua golong-an ini, muncul golongan pertengahan yang disebut kelompok Moderat atau pertengahan. Mereka ini pun masih terbagi-bagi lagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang cenderung kepada kelompok Konservatif, yang disebut dengan kelom-pok Moderat kanan. Ada yang lebih cenderung kepada kelompok Konservatif, yang disebut dengan kelompok Moderat kiri.
Demikianlah. Dalam masyarakat Kapitalis arus-arus se-macam itu masih terus berlangsung hingga saat ini.
Dalam hal ini, seorang muslim tidak dibenarkan mene-rima ide kebebasan bertingkah laku tersebut , sebab ide ini telah mengha¬lalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah. Terlebih lagi, kebebasan bertingkah laku ini telah melahirkan penyakit sosial yang beraneka ragam, sebab ide tersebut telah memberikan kebeba¬san untuk berzina, melakukan penyim-pangan seksual, bertelanjang di tempat umum, minum khamr, dan malapetaka-malapetaka sosial lainnya.
Inilah keempat kebebasan pokok yang diserukan oleh ideologi Kapitalisme dan diterapkan di negara-negara Kapitalis. Dan berto¬lak dari ide kebebasan (liberal-isme) ini, kaum Kapitalis terka¬dang menyebut ideologi mereka sebagai ideologi Liberalisme.
Semua ide-ide itu bertentangan dengan Islam. Tidak boleh diterima, apalagi dipropagandakan.
Ide-ide itulah yang menjadi sumber munculnya ide Hak Asasi Manusia (HAM), yang selalu digem¬bar-gem-borkan AS. Dan ide HAM ini sayangnya juga dipropaganda- kan dengan penuh kebanggaan oleh sebagian penguasa kaum muslimin dan para pendukungnya yang buta terhadap Islam, yakni para intelektu¬al yang termakan oleh kebudayaan Barat dan tersesat dari jalan yang lurus.
Padahal siapa pun --dari kalangan kaum muslimin yang mengaku muslim-- yang menjajakan HAM, berarti dia tergo-long orang bodoh, atau fasik, atau bahkan orang kafir.
Orang yang tidak memahami kontradiksi HAM dengan Islam, berati dia bodoh. Tak diterima lagi dalih apa pun darinya setelah penjelasan ini. Sedang orang yang menge-tahui kontradiksi HAM dengan Islam, tetapi mempropagan-dakan HAM seraya sadar telah berbuat maksiat, berarti dia fasik. Adapun orang yang mempercayai HAM dalam hake-kat yang sesungguhnya --yakni sebagai ide yang terlahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan yang kufur-- serta menyerukan HAM atas dasar pengertiannya itu, maka tak diragukan barang sedikit pun bahwa dia telah kafir. Sebab dalam kondisi seperti itu pada hakekatnya dia tidak beriman lagi terha¬dap Aqidah Islamiyah.
Adapun dari segi fakta, kita mengetahui bahwa HAM telah dijadikan slogan Revolusi Perancis pada tahun 1789, dan kemudian dijadikan piagam dalam konstitusi Perancis yang ditetapkan tahun 1791. Sebelum itu, slogan-slogan HAM telah diangkat pula dalam Revolusi Amerika tahun 1776. Secara umum, HAM kemudian diadopsi oleh seluruh negara Eropa pada abad ke-19. Hanya saja saat itu HAM hanya menjadi urusan dalam negeri masing-masing negara.
HAM baru menjadi peraturan internasional setelah Pe-rang Dunia II dan setelah berdirinya PBB, yaitu pada saat diumum-kannya Deklarasi Universal Hak Hak Asasi Manu-sia pada tahun 1948. Kemudian, pada tahun 1961 deklarasi itu disusul dengan Perjanjian Internasional Tentang Hak Hak Sipil dan Politik. Pada tahun 1966, diumumkan pula Perjanjian Internasional Tentang HAM, Ekonomi, Budaya, dan Sosial.
Meskipun demikian, semua ketetapan mengenai HAM itu tetap sebatas peraturan internasional. AS baru berupaya menjadikannya sebagai peraturan universal --yaitu peraturan yang tak hanya diadopsi oleh negara-negara, tetapi juga oleh rakyat berbagai negara itu-- setelah tahun 1993, atau dua tahun sesudah adanya dominasi tunggal AS secara interna-sioal akibat jatuhnya Sosialis¬me.
Pada tahun 1993 itu, di Wina telah diadakan konferensi tentang HAM untuk organisasi-organisasi non pemerintah/ NGO (Non Governmental Organization). Konferensi ini menghasikan Deklarasi Wina Bagi NGO Tentang HAM, yang menegaskan keuniversalan HAM dan keharusan pene-rapannya secara sama rata atas seluruh manusia tanpa mem-perhatikan perbedaan latar belakang budaya dan undang-undang. Selain itu, deklarasi ini menolak klaim bahwa HAM itu mengandung nuansa perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan demikian, jika HAM diterapkan di negeri-negeri Islam, maka artinya deklarasi ini telah menolak dan tidak memberikan tempat untuk pene-rapan Islam.
Untuk mengokohkan posisi HAM sebagai peraturan internasion¬al, AS kemudian menjadikan HAM sebagai salah satu basis strategi politik luar negerinya. Ini terjadi pada akhir dasawarsa 70-an di masa kepemimpinan Presiden Jimmy Carter. Sejak saat itu, Departe¬men Luar Negeri AS selalu mengeluarkan evaluasi tahunan mengenai komitmen negara-negara di dunia untuk menerapkan HAM. Evaluasi tahunan itu juga menilai sejauh mana negara-negara itu memberikan toleransi kepada rakyatnya untuk menjalankan HAM.
Sejak saat itu pula, AS kemudian menjadikan evaluasi itu sebagai landasan bagi sikap yang akan diambilnya terha-dap negara-negara yang oleh Washington dianggap tidak terikat dengan prin¬sip-prinsip HAM. Misalnya, Washington mengkaitkan komoditas gandumnya untuk Uni Soviet, dengan toleransi Uni Soviet kepada warga negaranya yang Yahudi untuk berimigrasi ke negara Yahudi di Palestina. AS juga menjadikan HAM sebagai alat justifikasi untuk melaku-kan intervensi militer di Haiti, pada tahun 1994.
Namun, seperti halnya kebijakan luar negeri AS pada umumnya, kebijakan Washington yang bertumpu pada HAM terhadap dunia itu juga bersifat diskriminatif. AS hanya menutup mata dan tidak mengganggu gugat sedikit pun negara-negara tertentu yang melang¬gar HAM, karena kepentingan AS mengharuskan demikian. Terhadap negara-negara seperti ini, AS hanya mengeluarkan kecaman dan kutukan dengan mulut saja.
Tetapi AS dapat bersikap ganas terhadap negara-negara pelanggar HAM yang lain, misalnya dengan mengambil tindakan-tindakan militer, seperti tindakannya terhadap Haiti. Atau mengambil tindakan-tindakan ekonomi dan perda-gangan, seperti yang dilakukannya terhadap RRC. Atau mengambil tindakan-tindakan politik dan diplomatik, seba-gai¬mana yang dilaksanakannya kepada banyak negara.
Semua itu dilakukan AS demi tuntutan kepentingan-kepentin¬gannya, dan tuntutan-tuntutan hegemoninya atas negara-negara tertentu.
Walaupun begitu, dasar penolakan kaum muslimin ter-hadap HAM ialah karena HAM itu berasal dari ideologi Kapitalisme yang batil aqidahnya. Selain itu, juga karena HAM merupakan pengeja¬wantahan dari pandangan ideologi Kapitalisme terhadap individu dan masyarakat serta merupa-kan perincian dari keempat macam kebebasan yang dise-rukan Kapitalisme.
Aqidah ideologi Kapitalisme dan seluruh pemikiran yang bersumber darinya atau dibangun di atasnya, terbukti sangat bertentangan dengan Islam, baik secara global mau-pun secara rinci.
Maka dari itu, kaum muslimin wajib membuang dan membatalkan HAM, serta menentang siapa saja yang ber-usaha mempropaganda¬kannya.
D. Politik Pasar Bebas
Slogan keempat yang diangkat oleh AS dan Barat da-lam seran¬gan universalnya untuk menjadikan ideologi Kapi-talisme sebagai agama seluruh manusia --termasuk kaum muslimin--, adalah slogan Politik Pasar Bebas.
Politik Pasar Bebas dalam serangan ini berarti pene-rapan kebebasan hak milik--yang bersumber dari aqidah ideologi Kapita-lisme-- secara internasional, yakni penerapan kebebasan hak milik dalam hubungan perdagangan interna-sional.
Tujuan dari Politik Pasar Bebas adalah meringankan atau menghentikan intervensi (campur tangan) negara-negara dalam perdagangan khususnya, dan dalam kegiatan pereko-nomian pada umumnya. Bertolak dari sini, AS berusaha menggiring negara-negara di dunia untuk menghilangkan hambatan tarif (bea masuk) dan rintangan apa pun dalam perdagangan internasional. Termasuk di dalamnya kebijakan proteksi perdagangan secara langsung --seperti larangan impor komoditas tertentu untuk memproteksi produk dalam negeri dari persaingan-- maupun kebijakan proteksi tidak langsung, seperti penetapan tarif yang tinggi untuk sebagian barang impor, pemberian subsidi untuk sebagian produk dalam negeri, dan penetapan kuota untuk mencegah pertu-karan perdagangan.
Tujuan AS memaksakan politik pasar bebas atas nega-ra-negara di dunia, adalah mengubah keadaan dunia men-jadi "Pasar Bebas", membuka pasar negara-negara di dunia bagi penanaman modal asing, dan mengeliminir peran nega-ra-negara di dunia untuk menga¬tur perekonomian, dengan melakukan privatisasi sektor publik. Tujuan terakhir ini khususnya diarahkan kepada negara-negara dengan sektor publik yang menempati proporsi tinggi dalam kegia¬tan per-ekonomian mereka. Artinya, keberadaan sektor publik ini telah dianggap menghalangi kemunculan peran dan pertum-buhan pemilikan individu (privat property).
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan itu, AS dan negara-negara Kapitalis besar telah mengadakan perjanjian-per-janjian perdagan¬gan internasional dan membentuk kelom-pok-kelompok ekonomi seperti NAFTA (beranggotakan AS, Kanada dan Meksiko), Pasar Bersama Eropa, dan APEC, yang beranggotakan negara-negara NAFTA, Austra¬lia, Selandia Baru, Jepang, Indonesia, dan negara-negara macan Asia, yang semuanya berada di sekitar Lautan Pasifik. Selain itu, AS juga telah menjadikan ketujuh negara industri kaya (negara G-7) sebagai instrumen untuk merumuskan kebija-kan-kebijakan ekono¬mi, keuangan, dan perdagangan interna-sional, serta untuk menjamin dan mengontrol pelaksanaan semua kebijakan itu. Ini semua merupa¬kan langkah persia-pan yang ditempuh AS untuk melegitimasi semua kebijakan tersebut menjadi undang-undang internasional, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan di sektor perdagangan.
AS juga memanfaatkan WTO (World Trade Organiza-tion) untuk mewujudkan tujuannya. Sebelum WTO berdiri, GATT (General Agree¬ment on Tariff and Trade) atau per-janjian umum tentang tarif dan perdagangan, tetap menjadi rujukan bagi perdagangan internasion¬al hingga tahun lalu. Hampir semua negara di dunia terikat dengan GATT, baik negara-negara yang menandatanganinya maupun yang tidak.
Namun karena GATT hanya mengatur hubungan per-dagangan antar-negara, dan tidak memberi otoritas kepada AS untuk mengatur kebijakan ekonomi dan perdagangan dalam negeri yang diambil oleh negara-negara di dunia, AS pun merasa bahwa GATT tidak memadai lagi untuk mewu-judkan tujuan-tujuannya. Maka, AS kemudian mengam¬bil langkah baru untuk menggantinya dengan WTO, yang kela-hirannya telah diumumkan di Maroko tahun 1994 lalu.
Tak lama kemudian, mayoritas negara di dunia pun ramai-ramai menandatangani perjanjian baru tersebut dan bergabung dengan organisasi baru itu. Tentu, ini adalah hasil berbagai tekanan yang dilancarkan oleh AS terhadap negara-negara di dunia untuk mewujudkan tujuannya.
Aspek terpenting dari perjanjian baru itu, ialah adanya otoritas yang diberikan kepada negara-negara Kapitalis kaya dan berpengaruh --dengan AS sebagai gembongnya-- untuk mengintervensi urusan ekonomi dan perdagangan negara-negara yang terikat dengan perjanjian itu secara umum, me-lalui peraturan yang dirancang oleh negara-negara berpe-ngaruh tadi.
Maka bukan rahasia lagi, bahwa tujuan utama AS dan negara-negara Kapitalis dalam strategi pasar global ini ada-lah membuka pasar seluruh negara-negara di dunia bagi produk-produk unggulan dan investasi-investasi mereka. Dengan begitu, negara-negara yang disebut sebagai negara-negara berkembang itu akan senantiasa berada di bawah hegemoni AS dalam bidang ekonomi dan perdagangan, serta tidak ber-peluang membangun ekonominya sendiri di atas basis-basis yang kuat dan kokoh.
Padahal kondisi demikian ini, akan bisa membebaskan keter¬gantungan ekonomi negara-negara berkembang tadi dari negara-negara kaya, sehingga nantinya negara-negara berkembang itu tidak lagi menjadi pasar bagi barang-barang konsumtif (consumer goods) yang diproduksi negara-negara kaya.
Jadi, apabila negara-negara berkembang itu tetap berada di bawah hegemoni negara-negara kaya, maka mere-ka tak akan pernah mampu mengubah kondisi ekonomi me-reka menjadi produktif, yang harus bertumpu pada industri berat sebagai prasyarat mutlak bagi kondisi perekonomian yang produktif itu.
Berdasarkan seluruh penjelasan tadi, kaum muslimin tidak boleh menerima Politik Pasar Bebas yang dipropa-gandakan dengan gencar dan luas oleh AS dan negara-negara Barat. Sebab, strategi tersebut merupakan penerapan kebebasan hak milik yang diserukan oleh sistem Kapital-isme. Dan jelas ini bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Selain itu, keterikatan negeri-negeri Islam dengan Politik Pasar Bebas akan memberikan kesempatan luas kepada kaum kafir untuk menguasai perekonomian negeri-negeri Islam.
Terlebih lagi, Politik Pasar Bebas juga akan mengha-lang-halangi negeri-negeri Islam untuk membebaskan diri dari belenggu kekufuran dan orang-orang kafir. Jelas ini adalah perkara yang diharamkan oleh Allah SWT. Firman Allah SWT :
وَ لَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكاَفِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً
"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman. (Q.S. An-Nisaa' : 141)
Benar, Islam memang mengharamkan ditentukannya bea cukai atas perdagangan, berdasarkan sabda Rasul saw :
لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
"Tidak akan masuk surga orang yang mengambil cukai (bea impor dari kaum muslimin dan rakyat Daulah Islamiyah)."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al Hakim)
Demikian juga, Islam memang tidak membolehkan penetapan bea cukai yang dikenakan atas seluruh pedagang yang menjadi rakyat Daulah Islamiyah. Asal komoditas tak diperhatikan lagi di sini, sebab dalam strategi perdagang- annya Islam tidak mempertimbangkan asal barang, tetapi kewarga negaraan pedagang.
Dan memang benar pula, bahwa bea cukai tidak boleh dikenakan terhadap para pedagang dengan kewarganegaraan mana pun, kecuali sekedar menjalankan perlakuan yang sama dari negara asing terha¬dap pedagang warga negara Daulah Islamiyah.
Akan tetapi, semua ini sama sekali tidak berarti bahwa politik pasar bebas itu sesuai dengan Islam, yang berarti tidak ada larangan untuk terikat dengannya. Sebab, kalaulah seba-gian hukum-hukum Islam itu mirip dengan hukum-hukum pada sistem lain dalam beberapa segi, hal itu tidak berarti kaum muslimin boleh mengambil hukum-hukum non Islam.
Jadi, kaum muslimin tetap tidak boleh mengambil hukum-hukum non Islam dengan alasan mengandung kemi-ripan dengan hukum-hukum Islam. Begitu pula sebaliknya, kaum muslimin tidak boleh memberi¬kan sifat-sifat kekufuran kepada sistem Islam hanya karena adanya kemiripan antara Islam dengan aspek-aspek tertentu dalam ideolo¬gi-ideologi lain.
Perbuatan keliru seperti itu pernah dilakukan oleh sementara orang. Penyair Ahmad Syauqi, misalnya, pernah menyifati Islam sebagai sistem yang sosialistis. Dalam se-buah syairnya yang dia tujukan untuk Rasulullah saw, dia berkata :
الإِشْتِرَاكِيُوْنَ أَنْتَ إِمَـامُهُمْ
"Engkau, wahai Rasulullah, adalah pemimpin orang-orang Sosialis."
Kesalahan serupa juga diperbuat oleh sebagian kaum muslimin, yang telah menyifati syura --yang memang diseru-kan oleh Islam-- sebagai prinsip Demokrasi.
Tindakan seperti itu sangat keliru, sebab setiap ajaran yang ada dalam Islam tiada lain adalah Islam semata. Bukan Sosialisme, bukan Demokrasi, atau apa pun. Lagipula, Islam itu sendiri sudah lebih dulu ada di muka bumi ini sebelum lahirnya Sosialisme dan Demokrasi-Kapitalis.
Atas dasar ini, kaum muslimin wajib menolak Politik Pasar Bebas karena strategi ini bertentangan dengan Islam, baik ditin¬jau dari segi pandangan dasar yang melahirkannya dan asas-asas pijakannya, maupun dari segi berbagai kemu-dlaratan besar yang akan terjadi akibat adanya keterikatan kaum muslimin dengan strategi itu.
Tindakan mengikatkan perekonomian negeri-negeri muslim dengan perekonomian negara-negara Kapitalis yang melaju dengan amat cepat, adalah tindakan gegabah yang sangat berbahaya. Sebab, hal ini akan menghalangi pem- bangunan ekonomi Dunia Islam di atas basis-basis yang kokoh, dan di samping itu akan memberikan kesempatan luas kepada kaum kafir untuk mempertahankan ceng- keramannya atas kaum muslimin dan negeri-negeri mereka.
Read More...
A. Demokrasi
Demokrasi, merupakan standar format politik dalam ideologi Kapitalisme. Artinya, Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang harus diterapkan oleh negara-negara Ka-pitalis dan negara-negara lain yang mengikuti serta meniru-niru negara-negara Kapi¬talis.
Menurut para penganutnya, Demokrasi berarti peme-rintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat; dengan menjalankan peraturan yang dibuat sendiri oleh rakyat.
Tak sedikit kaum Kapitalis yang menyebut sistem Ka-pitalisme mereka sebagai "sistem Demokrasi". Penyebutan ini tidak tepat, berdasarkan beberapa argumen berikut. Yang utama, bahwa Demokrasi bukanlah pemikiran orisinal kaum Kapitalis. Orang Yunani telah lebih dahulu mencetuskannya. Disamping itu, kaum Kapitalis bukan satu-satunya pihak yang menerapkan Demokrasi, karena kaum Sosia¬lis Marx juga mengaku diri sebagai kaum Demokrat. Sampai di akhir hayat ideologi Sosialisme, kaum Sosialis tetap mengklaim bahwa mereka telah menerapkan Demokrasi.
Aspek terpenting dalam Demokrasi, adalah ketetapan-nya bahwa pihak yang berhak membuat hukum (Al Musyarri') adalah manusia itu sendiri, bukan Al Khaliq. Ini logis saja bagi penga¬nut ide pemisahan agama dari kehi- dupan (sekularisme), karena pemisahan agama dari kehi- dupan itu berarti memberikan otoritas menetapkan hukum kepada manusia, bukan kepada Al Khaliq.
Dalam hal ini, kaum Kapitalis tidak pernah membahas apakah Al Khaliq telah mewajibkan manusia untuk mengi-kuti dan menerapkan syari'at tertentu dalam kehidupan mereka. Bahkan, mereka sedikit pun tak pernah memper-debatkan masalah ini sama sekali. Mereka hanya menetap-kan, bahwa yang berhak membuat hukum adalah manusia. Titik.
Bagi kaum muslimin, hal itu berarti tindak pembang-kangan dan pengingkaran terhadap seluruh dalil yang qath'i tsubut (pasti sumbernya) dan qath'i dalalah (pasti penger-tiannya) yang mewajib¬kan kaum muslimin untuk mengikuti syari'at Allah dan membuang peraturan apa pun selain sya-ri'at Allah. Na'udzu billah min dzalik.
Kewajiban di atas diterangkan oleh banyak ayat dalam Al Qur'an. Dan lebih dari itu, ayat-ayat yang qath'i tadi menegas¬kan pula bahwa siapa pun yang tidak mengikuti atau menerapkan syari'at Allah, berarti dia telah kafir, dzalim, atau fasik. Allah SWT berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَـا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولئِكَ هُـمُ الْكَافِرُوْنَ
"Siapa pun yang tidak memutuskan perkara hukum/politik menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir." (Q.S. Al Maaidah : 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَـا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولئِكَ هُـمُ الظَّالِمُوْنَ
"Siapa pun yang tidak memutuskan perkara hukum/politik menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang dzalim." (Q.S. Al Maaidah : 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَـا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولئِكَ هُـمُ الفَـاسِقُوْنَ
"Siapa pun yang tidak memutuskan perkara hukum/politik menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik." (Q.S. Al Maaidah : 47)
Berdasarkan nash ayat di atas, maka siapa pun juga yang tidak berhukum (menjalankan urusan pemerintahan) dengan apa yang diturunkan Allah, seraya menging¬kari hak Allah dalam menetapkan hukum --seperti halnya orang-orang yang meyakini Demokrasi-- maka dia adalah kafir tanpa keraguan lagi, sesuai nash Al Qur'an yang sangat jelas di atas. Hal ini karena tindakan tersebut --yakni tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan menging-kari hak membuat hukum yang dimiliki Allah-- berarti ingkar terhadap ayat-ayat yang qath'i dalalah. Padahal orang yang mengingkari ayat yang qath'i adalah kafir, dan ini disepakati oleh seluruh fuqaha.
Kaum kafir dan antek-antek mereka --yaitu para penguasa negeri-negeri muslim--, juga seluruh propagandis Demokrasi dari kalangan kaum muslimin yang tertipu --baik individu maupun kelom¬pok--, sesungguhnya memahami be-nar bahwa asas Demokrasi itu harus ditegakkan dengan tindakan membuang syari'at Allah dan menempatkan manu-sia pada posisi Al Khaliq.
Oleh karenanya, mereka tidak menjajakan Demokrasi dengan cara mengungkapkan hakekat itu, akan tetapi mereka mengatakan bahwa Demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Mereka katakan pula bahwa Demo-krasi adalah meratakan persamaan di antara rakyat, menye-barkan keadilan, serta mengoreksi dan mengk¬ritik pemerin-tah. Mereka tidak menyinggung-nyinggung sedikit pun me-ngenai tindakan membuang syari'at Allah itu, padahal substansi (inti) Demokrasi --dari awal sampai akhir-- tiada lain adalah tindakan membuang syari'at Allah dan mengikuti syari'at makhluk-Nya.
Adapun ide-ide lain yang --katanya-- merupakan ide Demokra¬si, sebenarnya tidak ada faktanya sama sekali. Ide bahwa rakyat yang memerintah dirinya sendiri, misalnya, sebenarnya hanyalah sebuah kebohongan besar. Sebab, da-lam masyarakat-masyarakat Kapitalis-Demokrasi, yang me-merintah bukanlah rakyat itu sendiri. Ide ini memang hanya sebuah utopia belaka.
Yang memerintah di sana, sebenarnya adalah golongan yang berpengaruh kuat dalam masyarakat mereka. Kalau di AS, mereka adalah para kapitalis raksasa. Sedang di Inggris, mereka adalah para bangsawan. Inilah fakta yang ada di AS dan di Inggris. Padahal kedua negara ini adalah negara-negara Kapita¬lis-Demokrasi yang ada di barisan terdepan.
Kelompok-kelompok berpengaruh di negara-negara Kapitalis tadi, mempunyai sarana-sarana yang memadai un-tuk menghantarkan siapa saja yang mereka kehendaki agar dapat duduk di tampuk pemerintahan dan dewan-dewan le-gislatif. Dengan demikian, undang-undang yang diberlaku-kan dan pihak eksekutif yang melaksanakan undang-undang itu, tak lebih hanya akan tunduk untuk melayani kepenting-an-kepentingan kelompok berpengaruh tersebut.
Ide-ide lain yang --katanya-- juga merupakan ide Demokra¬si, seperti persamaan, keadilan, dan hak mengkritik penguasa, semuanya juga cuma sebatas teori. Tak ada fakta-nya. Cukuplah seseorang mengamati kenyataan yang ada di AS --gembong demokrasi di dunia itu-- dengan seksama. Niscaya dia akan dapat menyimpul¬kan bahwa persamaan, keadilan, dan kritik kepada pemerintah di sana, semuanya serba diskriminatif.
Mereka yang dapat menikmati dan menjalankan hak-hak itu hanya orang-orang tertentu dengan warna kulit, aga-ma, dan asal-usul tertentu, atau orang-orang dengan sejum-lah harta kekayaan tertentu.
Lihatlah penderitaan memilukan yang dialami oleh orang-orang kulit hitam, orang-orang Indian berkulit merah, orang-orang yang bera¬sal dari Amerika Latin dan Asia, juga orang-orang yang non Protestan atau yang tidak berasal dari Eropa Barat.
Semua penderitaan mereka ini sudah cukup menjadi bukti bahwa apa yang --katanya-- menjadi ide-ide Demokra-si, pada hakekatnya hanyalah teori kosong belaka. Cuma teori. Meskipun, memang ka¬dang-kadang terjadi juga hal-hal janggal yang berbeda dengan kondisi yang telah diterangkan tadi.
Maka dari itu, seorang muslim tidak dibolehkan mene-rima ide Demokrasi, sebab Demokrasi adalah suatu kekufu-ran dan memberikan kepada manusia hak yang seharusnya merupakan hak Al Khaliq sema¬ta.
Bahkan lebih dari itu, setiap individu muslim wajib membuang dan mengenyahkan Demokrasi serta menentang dan melawan siapa pun yang berusaha menjajakan Demo-krasi yang kufur itu.
B. Pluralisme
Ide Pluralisme dalam ideologi Kapitalisme lahir dari pandan¬gan mereka terhadap masyarakat. Menurut mereka, masyarakat tersu¬sun dari individu-individu, dan individu-individu ini memiliki beraneka ragam keyakinan, opini, ke-pentingan, asal-usul, dan kebutuhan.
Maka atas dasar itu, mereka berpandangan bahwa su-dah merupakan keharusan, bahwa dalam masyarakat akan terdapat golongan-golongan yang berbeda-beda. Setiap go-longan mempunyai tujuan dan target tersendiri, yang harus diwakili oleh partai, gerakan, atau organ¬isasi. Dan setiap partai, gerakan, atau organisasi ini harus diakui eksistensinya dan diberi kesempatan untuk ikut berpartisi¬pasi dalam kegia- tan politik. Jadi, Pluralisme dalam pandangan Kapitalisme merupakan kebalikan dari ide kelompok tunggal atau partai tunggal.
Namun demikian, Pluralisme ini sebenarnya adalah kemajemukan yang harus disesuaikan sedemikian rupa deng-an format sistem politik Kapitalisme. Sehingga oleh karena-nya, dalam masyarakat Kapitalis tidak ada tempat bagi go-longan yang tidak mempercayai ideologi Kapitalisme, atau kelompok yang berjuang untuk menghan¬curkan sistem Kapitalisme yang ada.
Logika ini, yakni logika kemajemukan partai sesuai aqidah tunggal atau format sistem politik tunggal, sebenar-nya diakui pula keberadaannya oleh Islam. Hanya saja, tentu hal ini bukanlah Pluralisme seperti yang digembar-gem-borkan oleh orang-orang Kapitalis.
Islam memang membenarkan kemajemukan berbagai partai dan gerakan, selama mereka tetap mendasarkan diri pada Aqidah Isla¬miyah. Namun, Islam tidak mentolerir ke-beradaan partai atau gerakan yang bertujuan merobohkan sistem politik Islam. Jadi, keberadaan partai dan gerakan apa pun tetap dibenarkan selama mereka tetap berpedoman dengan pendapat-pendapat yang Islami, yakni pendapat-pendapat yang terpancar dari Aqidah Islamiyah atau yang dibangun di atasnya.
Tetapi sekali lagi, ini bukan berarti Islam menerima ide Pluralisme secara mutlak, atau menerima Pluralisme dalam penger-tiannya menurut Kapitalisme seperti yang dipropagan-dakan oleh Amerika dan Barat pada umumnya. Sebab, Plu-ralisme dalam Kapita¬lisme lahir dari aqidah Kapitalisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan.
Berdasarkan Pluralisme sesuai pengertian ideologi Ka-pitalis¬me tersebut, maka dibolehkan berdirinya partai atau gerakan yang mengajak kepada aqidah kufur, semisal pemi- sahan agama dari kehi¬dupan. Atas dasar Pluralisme itu, dibo- lehkan juga adanya partai yang berdiri di atas asas yang diharamkan Islam, seperti partai yang berasaskan Nasional-isme dan Patriotisme. Begitu pula berdasarkan Pluralisme dibolehkan berdirinya gerakan-gerakan yang mengajak ke-pada apa yang diharamkan Allah, seperti melakukan pe-nyimpangan seksual dan perzinaan, serta dibenarkan pula adanya kelompok-kelompok yang membela perjudian, mi-numan keras, aborsi, dan kebebasan wanita. Demikian sete-rusnya.
Seorang muslim tidak boleh menerima Pluralisme yang dipropa¬gandakan AS itu dan tidak boleh pula menerima Pluralisme secara mutlak. Sebab, menerima Pluralisme ber-arti membenarkan adanya seruan-seruan kepada kekufuran dan segala sesuatu yang diharamkan Allah.
Sungguh, Pluralisme adalah ide yang tidak akan pernah diter¬ima oleh seorang mu'min yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab dia mengetahui --berdasarkan ilmul yaqin (informasi dari wahyu yang bersifat qath'i)-- bahwa Allah di akhirat nanti akan mengazab semua orang yang melakukan kekufuran dan segala sesuatu yang diharamkan Allah.
C. Hak Asasi Manusia
Slogan ketiga yang digembar-gemborkan oleh Ame-rika dan Barat serta selalu mereka upayakan agar kaum muslimin mengambil dan mengadopsinya, ialah Hak Asasi Manusia (HAM). Slogan ini ternyata mempunyai penam-pilan yang indah dan mempesona di mata kebanyakan kaum muslimin, karena mereka memang merasakan kezhaliman, kekeja¬man, dan penindasan dari para penguasa mereka yang menjadi kaki tangan AS dan Barat.
Pemikiran mengenai HAM berpangkal dari pandangan ideologi Kapitalisme terhadap tabiat manusia, hubungan individu dengan masyarakat, fakta masyarakat, dan tugas negara.
Berkaitan dengan tabiat manusia, ideologi Kapitalisme memandang bahwa manusia itu pada hakekatnya adalah baik, tidak jahat. Kejahatan yang muncul dari manusia dise-babkan oleh penge¬kangan terhadap kehendaknya. Oleh karena itu, kaum Kapitalis menyerukan untuk membebaskan kehendak manusia agar dia mampu menunjukkan tabiat baiknya yang asli. Dari sinilah, muncul ide kebebasan yang kemudian menjadi salah satu ide yang paling meno¬njol dalam ideologi Kapitalisme.
Mengenai hubungan individu dengan masyarakat, ka-um Kapitalis memandang bahwa hubungan itu bersifat kon-tradiktif. Oleh karenan¬ya, harus ada pemeliharaan individu dari dominasi masyarakat, sebagaimana harus ada jaminan dan pemeliharaan terhadap kebeba¬san-kebebasan individu. Jadi bertolak belakang dengan opini umum pada masa Feo-dalisme bahwa kepentingan masyarakat harus didahulu¬kan daripada kepentingan individu, orang-orang Kapitalis me-nga¬takan bahwa kepentingan individulah yang harus dida-hulukan dari¬pada kepentingan masyarakat. Atas dasar ini, mereka menetapkan bahwa tugas pokok negara adalah men-jamin kepentingan individu dan memelihara kebebasannya.
Tentang fakta masyarakat, kaum Kapitalis berpanda-ngan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu-indi-vidu yang hidup bersa¬ma di suatu tempat. Jadi apabila kepentingan individu-individu itu terjamin penuh, maka secara alami akan terjamin pula kepen¬tingan masyarakat. Demikianlah.
Sesungguhnya, seluruh pemikiran kaum Kapitalis me-ngenai tabiat manusia, hubungan individu dengan masyara-kat, fakta masyara¬kat, dan tugas negara; tak lebih hanyalah setumpuk kesalahan belaka.
Sebab, tabiat manusia sesungguhnya bukanlah baik seperti yang dikatakan oleh orang-orang Kapitalis. Begitu pula bukan jahat sebagaimana pandangan Gereja yang berasal dari filsafat-filsafat kuno yang dibangun atas dasar pemahaman bahwa manusia telah mewarisi dosa Adam.
Pandangan yang benar terhadap tabiat manusia, ialah bahwa manusia itu memiliki sejumlah naluri (gharaiz) dan kebutuhan-kebutuhan jasmani (hajat al udlwiyah) yang me-nuntut pemuasan. Dengan akal yang dikaruniakan Allah, manusia kemudian mempunyai kehendak untuk memilih ja-lan yang akan dia tempuh untuk memuas¬kan naluri dan ke-butuhan jasmaninya itu.
Maka dari itu, apabila manusia memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya dengan jalan yang benar, berarti dia telah melakukan kebaikan. Sebaliknya apabila dia memenu-hinya dengan jalan yang keliru atau menyimpang, berarti dia telah melakukan keburukan.
Dengan demikian, tabiat manusia itu sebenarnya siap atau berpotensi untuk menerima kebaikan dan kejahatan se-kaligus. Dan manusialah yang memilih kebaikan atau kebu-rukan, sesuai kehen¬daknya sendiri.
Inilah pandangan yang dilontarkan Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah SWT :
وَ نَفْسٍ وَ مَـا سَوَّاهَـا فَأَلْــهَمَهَـا فُجُوْرَهَـا وَ تَقْوَاهَـا
"Dan demi jiwa (manusia) serta penyempurnaannya (cip- taannya), maka Allah-lah yang mengilhamkan (menyerukan) kepada jiwa itu memilih (jalan) kefasikan (kemaksiatan) dan ketakwaannya (ketaa¬tan kepada Allah)." (Q.S. Asy Syams: 7-8)
وَ هَدَيْنَـاهُ النَّجْـدَيْنِ
"dan Kami telah menunjukkan kepadanya (yakni manusia) dua jalan (baik dan buruk)." (Q.S. Al Balad: 10)
إٍنَّـا هَدَيْنـَاهُ السَّبِيْـلَ إِمَّـا شَـاكِرًا وَ إِمَّـا كَفُوْرًا
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (Q.S. Al Insan: 3)
Demikian pula apa yang mereka lontarkan mengenai hubungan individu dengan masyarakat, yang menurut mere-ka merupakan hubun¬gan yang berlawanan dan bertentangan, juga merupakan kesalahan.
Semuanya tidak tepat, baik pendapat orang-orang Kapitalis yang lebih mendahulukan kepentingan individu daripada kepentingan masyarakat; maupun pendapat para propagandis sistem Feodalisme yang menyerukan bahwa kepentingan individu telah tercakup dalam kepentingan kolektif/masyarakat; ataupun pendapat orang-orang Sosialis Marx yang menjadikan individu hanya sebagai gigi dalam sebuah roda masyarakat.
Hubungan yang benar adalah seperti yang digambar-kan oleh Islam, yang memandang hubungan itu sebagai hubungan keanggotaan yang bersifat saling melengkapi. Bukan hubungan yang saling berlawanan. Sebab, individu adalah bagian dari masyarakat, seper¬ti halnya tangan meru-pakan bagian dari tubuh manusia. Sebagaimana tubuh tidak lengkap tanpa tangan, maka tangan pun tidak ada artinya apabila terpisah dari tubuh.
Dalam hal ini Islam telah menetapkan hak-hak bagi individu sebagaimana Islam telah menetapkan hak-hak bagi masyarakat. Hak-hak tersebut bukan saling bertentangan ataupun berlawanan, tetapi saling melengkapi.
Demikian pula Islam telah mengatur kewajiban-kewajiban masing-masing dan menyerahkan pelaksanaannya kepada negara untuk menjamin keseimbangan antara dua pihak, agar masing-masing tidak melanggar atau mendomi-nasi pihak yang lainnya. Sebab masing-masing harus mendapat¬kan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Berkaitan dengan hal ini, tidak ada gambaran yang lebih indah untuk menun¬jukkan hubungan antara individu dan jama'ah daripada sabda Rasu¬lullah saw:
مَثَلُ القَـائِمِ علَى حُدودِ الله و الواقِعِ فيهَـا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا على سفِينَةٍ فَأَصَـابَ بعضُهُـم أَعْلاَهـا وَ بَعْضُهُـم أَسْفـلُهـا، فكَـانَ الَّذِينَ في أسْفَلِهـا إِذا اسْتَقَوا من المَـاءِ مَرُّوا عَلى مَن فَوقهم فقـالوا : لَوْ أَنـَّا خَرَقْنَـا في نَصِيبنا خَرْقًا وَ لَمْ نُؤْذِ مَن فَوقنا فإِنْ يَتركُوهم وَ مَـا أرَادُوا هَلَكُوا جميعـًا و إن أَخَذُوا على أيدِهِم نَجَوا و نَجَوْا جميعـًا
"Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang diundi dalam sebuah kapal. Sebagian mendapatkan bagian atas dan sebagian yang lain berada di bawah. Jika orang- orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Maka berkatalah orang-orang yang berada di bawah: 'Andai saja kami melobangi (dinding kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami'. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang- orang yang berada di atas (padahal mereka tidak meng-hendaki), niscaya binasalah seluruhnya. Dan jika mereka dicegah melakukan hal itu, maka ia akan selamat dan selamatlah semuanya”.
(HSR. Ahmad, Bukhari, dan Tirmidzi)
Pendapat orang-orang Kapitalis yang menyatakan bahwa masyar¬akat itu merupakan sekumpulan individu-indi-vidu yang hidup bersa¬ma di suatu tempat, adalah pendapat yang jauh dari kebenaran. Sebab masyarakat bukan hanya sekumpulan individu yang hidup bersama di suatu tempat, melainkan terdiri pula dari ide-ide dan perasaan-perasaan yang ada pada individu-individu tersebut serta sistem/pe-raturan yang diterapkan atas mereka. Dengan kata lain, ma-syarakat merupakan sekumpulan individu yang memiliki interaksi yang terus-menerus. Karena itu para penumpang kapal atau kereta tidak dapat dikategorikan sebagai masya-rakat sekalipun jumlahnya mencapai ribuan. Sebaliknya, penduduk kampung yang kecil bisa membentuk sebuah masyarakat, sekalipun jumlahnya hanya beberapa ratus jiwa.
Dengan demikian, jelaslah kesalahan ideologi Kapita-lisme dalam memahami fakta masyarakat, tabiat manusia, serta hubungan individu dengan masyarakat.
Kesalahan pemahaman mereka mengenai peran negara lebih jelas lagi. Sebab negara bukanlah alat untuk menjamin dan menjaga kemaslahatan individu saja, akan tetapi merupakan suatu institusi yang mengurusi kebutuhan indi-vidu, jamaah, dan masyarakat sebagai satu kesatuan, baik urusan dalam maupun luar negerinya, sesuai dengan per-aturan tertentu yang membatasi hak dan kewajiban mas¬ing-masing. Di samping itu negara bertugas untuk mengemban risa¬lah ke seluruh dunia, kalau memang dia memiliki risalah kemanu¬siaan, yaitu risalah yang layak untuk manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa memperhatikan per-timbangan lainnya.
Ringkasnya, atas dasar pandangan ideologi Kapitalisme terha¬dap tabiat manusia, hubungan individu dengan masya- rakat, fakta masyarakat yang menjadi tempat hidupnya, serta peran negara yang menjamin dan menjaga kemaslahatan in-dividu, maka ideologi ini menyerukan jaminan terhadap empat kebebasan bagi individu, yaitu : kebebasan beraqidah/ beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan hak milik, dan kebebasan bertingkah laku.
Kebebasan inilah yang merupakan asas HAM, sekali-gus biang keladi segala kebobrokan yang terjadi di tubuh masyarakat-masyar¬akat Kapitalis. Kebebasan di sana telah menjerumuskan manusia menjadi gerombolan binatang-binatang buas di mana yang kuat akan memakan yang lemah. Kebebasan itu telah mengakibatkan pula timbulnya kebejatan moral yang memerosotkan harkat dan martabat manusia hingga sederajat dengan binatang yang hina, karena manusia dibe¬baskan tanpa kendali untuk memuaskan kebu-tuhan naluri dan kebutu¬han jasmaninya.
Jadi, manusia dalam masyarakat-masyarakat Kapitalis tak ubahnya seperti kawanan binatang ternak, yang hanya bernafsu untuk meraup sebanyak mungkin kenikmatan fisik. Ironisnya, kenik¬matan fisik ini dianggap sebagai puncak ke-bahagiaan oleh ideologi Kapitalisme. Padahal pada hakekat-nya, masyarakat-masyarakat Kapitalis itu tak pernah menge- cap cita rasa kebahagiaan sedikit pun, sebab kehidupan mereka memang senantiasa bergelimang dengan penderi-taan, kegoncangan, dan keresahan yang tak pernah berakhir.
1. Kebebasan Beraqidah
Kebebasan beraqidah menurut kaum Kapitalis, artinya ialah manusia berhak untuk meyakini ideologi atau agama apa pun dan berhak mengingkari agama atau ide apa pun. Manusia juga dianggap berhak mengubah agamanya, bah-kan berhak tidak memper¬cayai suatu agama sama sekali.
Sebagian kaum muslimin yang tertipu oleh kaum kafir dan menjadi corong mereka, menyangka bahwa kebebasan beraqidah yang dipropagandakan oleh kaum Kapitalis itu tidaklah bertentangan dengan Islam. Mereka berargumentasi dengan firman Allah SWT :
لاَ إِكْرَاهَا فيِ الدِّيْنَ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)."
(Q.S. Al Baqarah : 256)
فَمَنْ شَاءَ فــَلْيُؤْمِنْ و َمَنْ شَاءَ فـَلْيَكْفُرْ
"Maka siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah beriman, dan siapa saja yang ingin (kafir) biarlah ia kafir."
(Q.S. Al Kahfi : 29)
Mereka sengaja pura-pura tidak mengetahui objek pem-bahasan dua nash tersebut, karena sesungguhnya seruan (khithab) dalam dua nash tersebut terbatas hanya ditujukan untuk orang-orang kafir. Jadi, kaum muslimin tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam, sebab orang-orang kafir dalam hal ini berhak untuk beriman kepada Islam dan berhak pula untuk tidak mengimaninya. Dengan demikian, kaum muslimin tidak boleh memaksa mereka untuk meng-ima¬ni Islam.
Hanya saja seruan dalam dua nash tadi tidak tepat jika diterapkan untuk kaum muslimin, sebab setelah mereka ber-agama Islam, kaum muslimin tidak diberi pilihan lagi untuk kafir atau murtad dari Islam. Hukum Islam bagi seorang muslim yang murtad, ialah diminta bertaubat agar kembali kepada haribaan Islam. Jika dia tetap bersikeras pada keka-firannya, maka kepadanya dikenakan sanksi (had) yang dite-tapkan untuk orang murtad, yaitu dihukum mati. Hal ini semata-mata dalam rangka melaksanakan sabda Rasu¬lullah saw :
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
"Siapa saja yang mengganti agama (Islam)-nya, bunuhlah dia." (HSR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Ashhabus Sunan)
Jadi, kebebasan beraqidah tidak ada dalam kamus kaum muslim¬in, bahkan sebaliknya, mereka wajib untuk terus me-meluk Aqidah Islamiyah. Seorang muslim tidak boleh me-meluk aqidah apa pun selain Aqidah Islamiyah, baik aqidah itu berasal dari agama samawi lainnya seperti Yahudi dan Nashrani, maupun dari ideologi lain, seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Dia tak boleh pula meyakini aqidah apa pun dari agama dan ide apa pun, selama itu bukan Aqidah Islamiyah.
Jelaslah, bahwa seorang muslim tidak boleh menerima ide kebebasan beraqidah yang diserukan oleh orang-orang Kapitalis. Bahkan dia wajib menolaknya dan menentang sia-pa pun yang menggem¬bar-gemborkan ide tersebut.
2. Kebebasan Berpendapat
Kebebasan berpendapat menurut orang-orang Kapitalis berarti bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapat apa saja di segala bidang dan segala persoalan tanpa terikat dengan batasan apapun.
Kebebasan berpendapat ini sangat menarik bagi seba-gian kaum muslimin, sebab mereka memang hidup tertindas di negara-negara tirani (militer), yang melarang siapa pun untuk menyatakan penda¬patnya, apabila bertentangan dengan pendapat penguasa, walau pendapat tersebut berasal dari Islam, bahkan dari ayat-ayat Al Qur'an atau hadits-hadits Nabi. Semua pendapat ini dilarang, selama yang dimaksud oleh ayat atau hadits itu bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh penguasa atau kebijakan politik yang dijalan-kannya. Hal ini sudah sedemikian rupa, sampai-sampai salah seorang penguasa kaum muslimin memerintahkankan apa-ratnya yang penindas itu untuk mencampakkan ayat-ayat atau hadits-hadits dari dinding-dinding masjid dan tempat-tempat umum lainnya serta menyobek-nyobeknya. Mereka melakukan kejahatan ini hanya karena ayat atau hadits ter-sebut menjelaskan hakekat bangsa Yahudi, seperti firman Allah SWT :
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِيْنَ آمَنُوا اليَهُوْدَ وَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا
"Tidaklah engkau dapati manusia yang paling keras per- musuhannya terhadap orang-orang yang beriman kecuali orang Yahudi dan orang-orang musyrik.."
(Q.S. Al Maaidah : 82)
Sungguhpun demikian, apa yang menimpa kaum mus-limin --yakni kejahatan dan penindasan para penguasa berikut pelanggaran mereka terhadap hukum-hukum Allah-- tetap tidak membolehkan kaum muslimin menerima apa yang dimurkai Allah, yakni menerima ide kebebasan ber-pendapat.
Kebebasan berpendapat pada ideologi Kapitalisme tidak terba¬tas pada hal-hal yang berhubungan dengan koreksi terhadap pengua¬sa, kritik terhadap sepak-terjang para politi- kus, dan yang lainnya. Ide kebebasan ini juga mencakup ke- bebasan untuk terang-terangan bersikap kufur, ingkar terha- dap adanya Allah, atau mempropagandakan ide apa saja, walaupun ide tersebut bertentangan dengan Aqidah Islami-yah atau menyalahi hukum-hukum yang terpancar dari Aqidah Islamiyah itu. Misalnya, propaganda terhadap hal-hal yang diharamkan Allah seperti praktek riba, perjudian, minu- man keras, perzinaan, penyimpangan seksual, dan segala sesuatu yang menghancurkan nilai-nilai luhur Islam yang harus kita pegang teguh dan kita jaga sesuai perintah Allah SWT kepada kita.
Kebebasan berpendapat juga berarti kebolehan bagi para agen Barat, orang-orang munafik dan orang-orang fasik serta musuh-musuh Islam untuk berpropaganda menentang Islam dan menghancurkan kesatuan umat, dengan memecah belahnya menjadi berbagai bangsa, negara, kelompok, dan golongan yang berbeda-beda. Kebebasan berpendapat juga membolehkan seruan-seruan yang bertolak dari fanatisme golongan (ashabiyah), seperti Nasionalisme, Patriotis¬me, dan sebagainya. Padahal Islam telah memerintahkan umatnya untuk menghapuskan fanatisme golongan dan mengharam-kan mereka untuk menyeru¬kannya. Bahkan Rasulullah saw pernah mengklasifikasikannya seba¬gai bangkai atau ajaran yang rusak.
Selain itu kebebasan ini juga berarti kebolehan bagi agen-agen Barat tersebut untuk menyerukan ide-ide kufur yang dijajakan untuk menjatuhkan martabat kaum wanita, menyebarkan kebejatan dan kebobrokan moral, serta me-musnahkan nilai-nilai luhur, kehorma¬tan, dan kemuliaan.
Untuk mengetahui sejauh mana kebebasan ini diberi-kan oleh orang-orang Kapitalis, cukuplah kita mengingat hu-jatan Salman Rushdi yang mendiskreditkan Nabi saw dan isteri-isteri beliau yang mulia (ummahatul mu'minin). Semua ini dibenarkan menurut prinsip kebebasan berpendapat yang digembar-gemborkan kaum Kapi¬talis.
Memang benar, bahwa Islam telah membolehkan seo-rang muslim untuk menyatakan pendapatnya terhadap segala hal dan persoalan. Akan tetapi Islam mensyaratkan bahwa pendapat tersebut wajib terpancar dari Aqidah Islamiyah atau dibangun di atasnya, serta tetap berada di dalam lingkaran Islam. Karena itu, seorang muslim berhak menyatakan pen-dapat apa saja sekalipun pendapat itu ber¬tentangan dengan pendapat yang diadopsi Khalifah dan berlawanan dengan pendapat mayoritas kaum muslimin. Tetapi tentu semua pen-dapatnya ini tetap harus bersandar kepada dalil syara' atau berada dalam batas-batas syara'.
Lebih dari itu, Islam telah mewajibkan seorang muslim untuk menyatakan pendapatnya dan mengoreksi penguasa, apabila mereka bertindak zhalim dan mengeluarkan per-nyataan atau memerintahkan sesuatu yang dimurkai Allah. Bahkan dalam hal ini Islam menseja¬jarkan aktivitas seperti ini dengan jihad fi sabilillah. Rasulul¬lah saw bersabda:
سَيِّدَ الشُّهَدَاءِ حَمْزةُ بن عَبْدِ المُطَلِّبْ وَرَجُلٌ قَامَ إلَى إمامٍ جَائِرٍ فَأمره وَ نَهَاه فَقتَلهُ
"Penghulu para syuhada' ialah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa zhalim, lalu orang itu memerintahkannya berbuat ma'ruf (menjalan- kan apa yang diwajibkan oleh syara') dan melarangnya ber- buat mungkar (kekufuran/kezhaliman/kemaksiatan), kemudi- an penguasa itu membu¬nuhnya." (HR. Al Hakim)
Sekalipun demikian, seorang muslim tidak boleh me-nyatakan pendapat yang bertentangan dengan Islam, yakni bila pendapat itu bertentangan dengan Aqidah Islamiyah atau bertentangan dengan pemikiran dan hukum yang terpancar darinya.
Maka dari itu, seorang muslim tidak diperkenankan menyerukan apa yang dinamakan sebagai kebebasan wanita, Nasionalisme, Patri¬otisme, dan sebagainya. Ia tidak boleh pula mempropagandakan ideologi-ideologi kufur seperti Ka-pitalisme dan Sosialisme atau pemikiran apa pun yang ber-tentangan dengan Islam.
Atas dasar inilah, seorang muslim tidak diperbolehkan mener¬ima ide kebebasan berpendapat yang diserukan oleh orang-orang Kapitalis. Sebab, segala pendapat yang dinya-takan seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara'. Rasulullah saw dalam konteks ini pernah bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اليَوْمِ الأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمِتْ
"Siapa saja yang telah beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menyatakan Al Khair atau diam."
(HSR. Ahmad, Buk¬hari, dan Muslim)
Al Khair dalam hadits di atas artinya adalah Islam atau apa yang dibenarkan Islam.
Selain itu, Islam juga telah melarang para pemeluknya untuk mempunyai kecenderungan --walaupun baru berupa kecenderungan-- terhadap hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Rasulullah saw bersabda :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَـا جِئْتُ بِهِ
"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sebelum hawa nafsunya tunduk kepada apa yang aku bawa (Islam)".
(HSR. Al Baghawi dan Imam Nawawi)
3. Kebebasan Hak Milik
Adapun tentang kebebasan hak milik, orang-orang Kapitalis memandang bahwa manusia berhak memiliki sega- la sesuatu sesuka hatinya dan menggunakan segala sesuatu miliknya itu sesuka hatin¬ya pula, selama hal itu tidak me- langgar hak-hak orang lain. Maksudnya, selama tidak me-langgar hak-hak yang diakui oleh sistem Kapitalisme.
Hal ini berarti manusia berhak memiliki segala sesuatu baik yang dihalalkan oleh Allah SWT maupun yang di-haramkan-Nya. Manu¬sia juga berhak menggunakan atau mengelola apa saja yang dia miliki sekehendaknya, baik dia terikat dengan perintah dan laran¬gan Allah maupun tidak sama sekali.
Sesuai dengan kebebasan ini, individu berhak memiliki bar¬ang-barang yang termasuk dalam pemilikan umum (pub-lic property) seperti ladang-ladang minyak, tambang-tam-bang besar, pantai dan sungai-sungai, air yang dibutuhkan jama'ah, dan barang-barang lain yang merupakan hajat hidup orang banyak. Individupun berhak memiliki barang-barang halal seperti rumah-rumah, kebun, toko, pabrik, sebagaimana dia juga berhak memiliki barang yang diharam¬kan Allah SWT untuk dimiliki seperti khamr (minuman keras), bank ri-bawi, peternakan babi, rumah bordil, tempat-tempat perjudi-an, dan barang-barang terlarang lainnya yang tidak boleh dimiliki menurut syara'.
Menurut ide kebebasan ini pula, seseorang berhak memperoleh atau mengembangkan harta baik secara halal seperti warisan, hibah, perdagangan, berburu, pertanian, dan industri, maupun secara haram seperti perjudian, riba, perda- gangan khamr dan obat-obat terlarang, serta usaha-usaha haram lainnya.
Dengan demikian, jelaslah kontradiksi kebebasan hak milik dengan Islam, sehingga kaum muslimin diharamkan ide kebebasan itu.
Akibat dari adopsi orang-orang Kapitalis terhadap kebebasan ini, meratalah bencana-bencana yang tiada henti-hentinya. Perbua¬tan-perbuatan hina merajalela di mana-mana dalam masyarakat Kapitalis. Kejahatan terorganisir (mafia) muncul secara terang-terangan. Sikap individualisme dan egoisme diagung-agungkan sehingga rontoklah semangat hidup berjamaah. Sikap mementingkan diri sendiri meng-gantikan sikap mengutamakan orang lain. Penya¬kit-penyakit yang menakutkan pun merajalela akibat beredarnya segala macam barang secara bebas, baik yang bermanfaat maupun yang membahayakan mereka, seperti obat-obat terlarang dan lain sebagainya.
Kebebasan ini telah menimbulkan pula akumulasi kekayaan yang melimpah ruah di tangan segelintir orang yang disebut sebagai para Kapitalis. Dengan kelebihan keka-yaannya itu, mereka berubah menjadi satu kekuatan hege-monik yang menguasai dan mengendalikan berbagai masya-rakat dan negara, baik dalam urusan politik dalam negeri maupun luar negerinya. Dari orang-orang Kapitalis inilah, diambil nama bagi sistem mereka --sistem Kapitalisme-- karena aspek paling menonjol dalam masyarakat dengan sistem ini adalah pengaruh dan dominasi kaum Kapitalis.
Di antara kaum Kapitalis ada yang menjadi pemilik industri-industri senjata dan menjadi para pelaku bisnis pe-rang. Mereka telah melibatkan berbagai negara dan bangsa yang sudah didomi¬nasi ke dalam kancah peperangan yang pada hakekatnya tidak akan pernah mempero¬leh keuntungan apa-apa dari kemelut perang yang melanda mereka. Memang, ambisi mereka dalam hal ini semata-mata hanya mengeruk keuntungan yang akan mereka peroleh dari perdagangan senjata. Mereka tak pernah peduli sedikit pun akan darah yang ditumpahkan atau bencana-bencana yang timbul akibat perang.
4. Kebebasan Bertingkah Laku
Kebebasan keempat yang dijajakan sistem Kapitalisme dan diupayakannya agar dapat terwujud dan terpelihara, ada-lah kebeba¬san bertingkah laku. Menurut Kapitalisme, kebe-basan bertingkah laku berarti setiap orang berhak menjalani kehidupan pribadinya sekehendaknya, asalkan tidak melang-gar kehidupan pribadi orang lain.
Berdasarkan hal itu, seorang pria berhak menikah; atau menggauli wanita mana pun selama wanita itu ridla. Dia ber-hak pula melaku¬kan penyimpangan seksual selama tidak melibatkan anak di bawah umur. Begitu pula atas dasar kebebasan ini, seseor¬ang berhak makan dan minum apa saja serta berpakaian seenaknya, dalam batas-batas peraturan umum. Antara masyarakat Kapitalis yang satu dengan yang lainnya, atau dari satu masa ke masa lain, sudah barang tentu terdapat perbedaan dan perubahan dalam hal batas-batas per-aturan umum tadi.
Menurut kaum Kapitalis, dalam kebebasan bertingkah laku ini tidak ada tempat bagi halal haram untuk mengatur perilaku manu¬sia. Yang penting, dia dianggap sah melaku-kan suatu perbuatan menurut undang-undang, yang dapat saja undang-undang itu berubah dan berbeda-beda sesuai konteks waktu dan tempat pada berbagai masyarakat Kapi-talisme. Jelas, agama tidak punya pengaruh sama sekali dalam kebebasan ini, sebab menurut Kapitalisme peraturan yang ada memang harus dipisahkan dari agama.
Penerapan kebebasan ini di tengah masyarakat Kapita-lis, telah membudayakan kebejatan dan kebobrokan moral sedemikian rupa, sehingga pria dan wanita di sana sudah biasa hidup bersama tanpa nikah. Bahkan, sesama pria atau sesama wanita dibenarkan dan dilindungi oleh undang-undang untuk melakukan tindak penyimpangan seksual (homo¬seksual dan lesbian).
Dalam masyarakat Kapitalis, kebebasan bertingkah laku tidak sekedar meluaskan terjadinya penyimpangan sek-sual, tapi bahkan telah menimbulkan kerusakan yang amat mengerikan yang hampir-hampir tak terbayangkan. Lihatlah, di sana banyak film-film dan majalah-majalah porno, jasa-jasa telepon seks, klub-klub nudis, kaum hippies yang hidup liar dan bebas, dan sebagainya. Semua ini tak lain adalah bukti penyimpangan dan kebejatan ma¬syarakat Kapitalis yang bersumber dari ide kebebasan bertingkah laku itu.
Kalau pun ada perbedaan tingkat kerusakan di antara masyara¬kat-masyarakat Kapitalis, sebenarnya ini disebabkan adanya perbe¬daan titik waktu kelahiran masyarakat dan fase yang ditempuhnya dalam penerapan ideologi Kapitalisme.
Hal itu dapat dipahami, karena masyarakat-masyarakat Kapita¬lis lahir di atas reruntuhan sistem Feodalisme dan ajaran-ajaran gereja yang mendominasi masyarakat dalam sistem Feodalisme. Namun demikian, adalah tidak mungkin mengubah kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masya-rakat Feodalis dalam sekejap mata. Maka, di antara kaum Kapitalis ada sekelompok orang yang mengajak untuk menghapuskan kebiasaan-kebiasaan itu sekaligus dan sesegera mungkin. Tetapi ada pula yang menyerukan keha-rusan menerima kenyataan masyarakat yang ada beserta segala kebiasaannya, seraya tetap berusaha mengubahnya dan melepaskan-nya secara bertahap dari segala nilai, ajaran, dan kebiasaan kuno dalam sistem Feodalisme.
Mereka yang mengajak untuk menerapkan kebebasan dengan segera itu disebut sebagai orang-orang Liberal. Sedang yang berusaha menerapkannya secara bertahap, dise-but dengan kaum Konservatif. Di tengah-tengah dua golong-an ini, muncul golongan pertengahan yang disebut kelompok Moderat atau pertengahan. Mereka ini pun masih terbagi-bagi lagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang cenderung kepada kelompok Konservatif, yang disebut dengan kelom-pok Moderat kanan. Ada yang lebih cenderung kepada kelompok Konservatif, yang disebut dengan kelompok Moderat kiri.
Demikianlah. Dalam masyarakat Kapitalis arus-arus se-macam itu masih terus berlangsung hingga saat ini.
Dalam hal ini, seorang muslim tidak dibenarkan mene-rima ide kebebasan bertingkah laku tersebut , sebab ide ini telah mengha¬lalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah. Terlebih lagi, kebebasan bertingkah laku ini telah melahirkan penyakit sosial yang beraneka ragam, sebab ide tersebut telah memberikan kebeba¬san untuk berzina, melakukan penyim-pangan seksual, bertelanjang di tempat umum, minum khamr, dan malapetaka-malapetaka sosial lainnya.
Inilah keempat kebebasan pokok yang diserukan oleh ideologi Kapitalisme dan diterapkan di negara-negara Kapitalis. Dan berto¬lak dari ide kebebasan (liberal-isme) ini, kaum Kapitalis terka¬dang menyebut ideologi mereka sebagai ideologi Liberalisme.
Semua ide-ide itu bertentangan dengan Islam. Tidak boleh diterima, apalagi dipropagandakan.
Ide-ide itulah yang menjadi sumber munculnya ide Hak Asasi Manusia (HAM), yang selalu digem¬bar-gem-borkan AS. Dan ide HAM ini sayangnya juga dipropaganda- kan dengan penuh kebanggaan oleh sebagian penguasa kaum muslimin dan para pendukungnya yang buta terhadap Islam, yakni para intelektu¬al yang termakan oleh kebudayaan Barat dan tersesat dari jalan yang lurus.
Padahal siapa pun --dari kalangan kaum muslimin yang mengaku muslim-- yang menjajakan HAM, berarti dia tergo-long orang bodoh, atau fasik, atau bahkan orang kafir.
Orang yang tidak memahami kontradiksi HAM dengan Islam, berati dia bodoh. Tak diterima lagi dalih apa pun darinya setelah penjelasan ini. Sedang orang yang menge-tahui kontradiksi HAM dengan Islam, tetapi mempropagan-dakan HAM seraya sadar telah berbuat maksiat, berarti dia fasik. Adapun orang yang mempercayai HAM dalam hake-kat yang sesungguhnya --yakni sebagai ide yang terlahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan yang kufur-- serta menyerukan HAM atas dasar pengertiannya itu, maka tak diragukan barang sedikit pun bahwa dia telah kafir. Sebab dalam kondisi seperti itu pada hakekatnya dia tidak beriman lagi terha¬dap Aqidah Islamiyah.
Adapun dari segi fakta, kita mengetahui bahwa HAM telah dijadikan slogan Revolusi Perancis pada tahun 1789, dan kemudian dijadikan piagam dalam konstitusi Perancis yang ditetapkan tahun 1791. Sebelum itu, slogan-slogan HAM telah diangkat pula dalam Revolusi Amerika tahun 1776. Secara umum, HAM kemudian diadopsi oleh seluruh negara Eropa pada abad ke-19. Hanya saja saat itu HAM hanya menjadi urusan dalam negeri masing-masing negara.
HAM baru menjadi peraturan internasional setelah Pe-rang Dunia II dan setelah berdirinya PBB, yaitu pada saat diumum-kannya Deklarasi Universal Hak Hak Asasi Manu-sia pada tahun 1948. Kemudian, pada tahun 1961 deklarasi itu disusul dengan Perjanjian Internasional Tentang Hak Hak Sipil dan Politik. Pada tahun 1966, diumumkan pula Perjanjian Internasional Tentang HAM, Ekonomi, Budaya, dan Sosial.
Meskipun demikian, semua ketetapan mengenai HAM itu tetap sebatas peraturan internasional. AS baru berupaya menjadikannya sebagai peraturan universal --yaitu peraturan yang tak hanya diadopsi oleh negara-negara, tetapi juga oleh rakyat berbagai negara itu-- setelah tahun 1993, atau dua tahun sesudah adanya dominasi tunggal AS secara interna-sioal akibat jatuhnya Sosialis¬me.
Pada tahun 1993 itu, di Wina telah diadakan konferensi tentang HAM untuk organisasi-organisasi non pemerintah/ NGO (Non Governmental Organization). Konferensi ini menghasikan Deklarasi Wina Bagi NGO Tentang HAM, yang menegaskan keuniversalan HAM dan keharusan pene-rapannya secara sama rata atas seluruh manusia tanpa mem-perhatikan perbedaan latar belakang budaya dan undang-undang. Selain itu, deklarasi ini menolak klaim bahwa HAM itu mengandung nuansa perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan demikian, jika HAM diterapkan di negeri-negeri Islam, maka artinya deklarasi ini telah menolak dan tidak memberikan tempat untuk pene-rapan Islam.
Untuk mengokohkan posisi HAM sebagai peraturan internasion¬al, AS kemudian menjadikan HAM sebagai salah satu basis strategi politik luar negerinya. Ini terjadi pada akhir dasawarsa 70-an di masa kepemimpinan Presiden Jimmy Carter. Sejak saat itu, Departe¬men Luar Negeri AS selalu mengeluarkan evaluasi tahunan mengenai komitmen negara-negara di dunia untuk menerapkan HAM. Evaluasi tahunan itu juga menilai sejauh mana negara-negara itu memberikan toleransi kepada rakyatnya untuk menjalankan HAM.
Sejak saat itu pula, AS kemudian menjadikan evaluasi itu sebagai landasan bagi sikap yang akan diambilnya terha-dap negara-negara yang oleh Washington dianggap tidak terikat dengan prin¬sip-prinsip HAM. Misalnya, Washington mengkaitkan komoditas gandumnya untuk Uni Soviet, dengan toleransi Uni Soviet kepada warga negaranya yang Yahudi untuk berimigrasi ke negara Yahudi di Palestina. AS juga menjadikan HAM sebagai alat justifikasi untuk melaku-kan intervensi militer di Haiti, pada tahun 1994.
Namun, seperti halnya kebijakan luar negeri AS pada umumnya, kebijakan Washington yang bertumpu pada HAM terhadap dunia itu juga bersifat diskriminatif. AS hanya menutup mata dan tidak mengganggu gugat sedikit pun negara-negara tertentu yang melang¬gar HAM, karena kepentingan AS mengharuskan demikian. Terhadap negara-negara seperti ini, AS hanya mengeluarkan kecaman dan kutukan dengan mulut saja.
Tetapi AS dapat bersikap ganas terhadap negara-negara pelanggar HAM yang lain, misalnya dengan mengambil tindakan-tindakan militer, seperti tindakannya terhadap Haiti. Atau mengambil tindakan-tindakan ekonomi dan perda-gangan, seperti yang dilakukannya terhadap RRC. Atau mengambil tindakan-tindakan politik dan diplomatik, seba-gai¬mana yang dilaksanakannya kepada banyak negara.
Semua itu dilakukan AS demi tuntutan kepentingan-kepentin¬gannya, dan tuntutan-tuntutan hegemoninya atas negara-negara tertentu.
Walaupun begitu, dasar penolakan kaum muslimin ter-hadap HAM ialah karena HAM itu berasal dari ideologi Kapitalisme yang batil aqidahnya. Selain itu, juga karena HAM merupakan pengeja¬wantahan dari pandangan ideologi Kapitalisme terhadap individu dan masyarakat serta merupa-kan perincian dari keempat macam kebebasan yang dise-rukan Kapitalisme.
Aqidah ideologi Kapitalisme dan seluruh pemikiran yang bersumber darinya atau dibangun di atasnya, terbukti sangat bertentangan dengan Islam, baik secara global mau-pun secara rinci.
Maka dari itu, kaum muslimin wajib membuang dan membatalkan HAM, serta menentang siapa saja yang ber-usaha mempropaganda¬kannya.
D. Politik Pasar Bebas
Slogan keempat yang diangkat oleh AS dan Barat da-lam seran¬gan universalnya untuk menjadikan ideologi Kapi-talisme sebagai agama seluruh manusia --termasuk kaum muslimin--, adalah slogan Politik Pasar Bebas.
Politik Pasar Bebas dalam serangan ini berarti pene-rapan kebebasan hak milik--yang bersumber dari aqidah ideologi Kapita-lisme-- secara internasional, yakni penerapan kebebasan hak milik dalam hubungan perdagangan interna-sional.
Tujuan dari Politik Pasar Bebas adalah meringankan atau menghentikan intervensi (campur tangan) negara-negara dalam perdagangan khususnya, dan dalam kegiatan pereko-nomian pada umumnya. Bertolak dari sini, AS berusaha menggiring negara-negara di dunia untuk menghilangkan hambatan tarif (bea masuk) dan rintangan apa pun dalam perdagangan internasional. Termasuk di dalamnya kebijakan proteksi perdagangan secara langsung --seperti larangan impor komoditas tertentu untuk memproteksi produk dalam negeri dari persaingan-- maupun kebijakan proteksi tidak langsung, seperti penetapan tarif yang tinggi untuk sebagian barang impor, pemberian subsidi untuk sebagian produk dalam negeri, dan penetapan kuota untuk mencegah pertu-karan perdagangan.
Tujuan AS memaksakan politik pasar bebas atas nega-ra-negara di dunia, adalah mengubah keadaan dunia men-jadi "Pasar Bebas", membuka pasar negara-negara di dunia bagi penanaman modal asing, dan mengeliminir peran nega-ra-negara di dunia untuk menga¬tur perekonomian, dengan melakukan privatisasi sektor publik. Tujuan terakhir ini khususnya diarahkan kepada negara-negara dengan sektor publik yang menempati proporsi tinggi dalam kegia¬tan per-ekonomian mereka. Artinya, keberadaan sektor publik ini telah dianggap menghalangi kemunculan peran dan pertum-buhan pemilikan individu (privat property).
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan itu, AS dan negara-negara Kapitalis besar telah mengadakan perjanjian-per-janjian perdagan¬gan internasional dan membentuk kelom-pok-kelompok ekonomi seperti NAFTA (beranggotakan AS, Kanada dan Meksiko), Pasar Bersama Eropa, dan APEC, yang beranggotakan negara-negara NAFTA, Austra¬lia, Selandia Baru, Jepang, Indonesia, dan negara-negara macan Asia, yang semuanya berada di sekitar Lautan Pasifik. Selain itu, AS juga telah menjadikan ketujuh negara industri kaya (negara G-7) sebagai instrumen untuk merumuskan kebija-kan-kebijakan ekono¬mi, keuangan, dan perdagangan interna-sional, serta untuk menjamin dan mengontrol pelaksanaan semua kebijakan itu. Ini semua merupa¬kan langkah persia-pan yang ditempuh AS untuk melegitimasi semua kebijakan tersebut menjadi undang-undang internasional, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan di sektor perdagangan.
AS juga memanfaatkan WTO (World Trade Organiza-tion) untuk mewujudkan tujuannya. Sebelum WTO berdiri, GATT (General Agree¬ment on Tariff and Trade) atau per-janjian umum tentang tarif dan perdagangan, tetap menjadi rujukan bagi perdagangan internasion¬al hingga tahun lalu. Hampir semua negara di dunia terikat dengan GATT, baik negara-negara yang menandatanganinya maupun yang tidak.
Namun karena GATT hanya mengatur hubungan per-dagangan antar-negara, dan tidak memberi otoritas kepada AS untuk mengatur kebijakan ekonomi dan perdagangan dalam negeri yang diambil oleh negara-negara di dunia, AS pun merasa bahwa GATT tidak memadai lagi untuk mewu-judkan tujuan-tujuannya. Maka, AS kemudian mengam¬bil langkah baru untuk menggantinya dengan WTO, yang kela-hirannya telah diumumkan di Maroko tahun 1994 lalu.
Tak lama kemudian, mayoritas negara di dunia pun ramai-ramai menandatangani perjanjian baru tersebut dan bergabung dengan organisasi baru itu. Tentu, ini adalah hasil berbagai tekanan yang dilancarkan oleh AS terhadap negara-negara di dunia untuk mewujudkan tujuannya.
Aspek terpenting dari perjanjian baru itu, ialah adanya otoritas yang diberikan kepada negara-negara Kapitalis kaya dan berpengaruh --dengan AS sebagai gembongnya-- untuk mengintervensi urusan ekonomi dan perdagangan negara-negara yang terikat dengan perjanjian itu secara umum, me-lalui peraturan yang dirancang oleh negara-negara berpe-ngaruh tadi.
Maka bukan rahasia lagi, bahwa tujuan utama AS dan negara-negara Kapitalis dalam strategi pasar global ini ada-lah membuka pasar seluruh negara-negara di dunia bagi produk-produk unggulan dan investasi-investasi mereka. Dengan begitu, negara-negara yang disebut sebagai negara-negara berkembang itu akan senantiasa berada di bawah hegemoni AS dalam bidang ekonomi dan perdagangan, serta tidak ber-peluang membangun ekonominya sendiri di atas basis-basis yang kuat dan kokoh.
Padahal kondisi demikian ini, akan bisa membebaskan keter¬gantungan ekonomi negara-negara berkembang tadi dari negara-negara kaya, sehingga nantinya negara-negara berkembang itu tidak lagi menjadi pasar bagi barang-barang konsumtif (consumer goods) yang diproduksi negara-negara kaya.
Jadi, apabila negara-negara berkembang itu tetap berada di bawah hegemoni negara-negara kaya, maka mere-ka tak akan pernah mampu mengubah kondisi ekonomi me-reka menjadi produktif, yang harus bertumpu pada industri berat sebagai prasyarat mutlak bagi kondisi perekonomian yang produktif itu.
Berdasarkan seluruh penjelasan tadi, kaum muslimin tidak boleh menerima Politik Pasar Bebas yang dipropa-gandakan dengan gencar dan luas oleh AS dan negara-negara Barat. Sebab, strategi tersebut merupakan penerapan kebebasan hak milik yang diserukan oleh sistem Kapital-isme. Dan jelas ini bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Selain itu, keterikatan negeri-negeri Islam dengan Politik Pasar Bebas akan memberikan kesempatan luas kepada kaum kafir untuk menguasai perekonomian negeri-negeri Islam.
Terlebih lagi, Politik Pasar Bebas juga akan mengha-lang-halangi negeri-negeri Islam untuk membebaskan diri dari belenggu kekufuran dan orang-orang kafir. Jelas ini adalah perkara yang diharamkan oleh Allah SWT. Firman Allah SWT :
وَ لَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكاَفِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً
"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman. (Q.S. An-Nisaa' : 141)
Benar, Islam memang mengharamkan ditentukannya bea cukai atas perdagangan, berdasarkan sabda Rasul saw :
لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
"Tidak akan masuk surga orang yang mengambil cukai (bea impor dari kaum muslimin dan rakyat Daulah Islamiyah)."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al Hakim)
Demikian juga, Islam memang tidak membolehkan penetapan bea cukai yang dikenakan atas seluruh pedagang yang menjadi rakyat Daulah Islamiyah. Asal komoditas tak diperhatikan lagi di sini, sebab dalam strategi perdagang- annya Islam tidak mempertimbangkan asal barang, tetapi kewarga negaraan pedagang.
Dan memang benar pula, bahwa bea cukai tidak boleh dikenakan terhadap para pedagang dengan kewarganegaraan mana pun, kecuali sekedar menjalankan perlakuan yang sama dari negara asing terha¬dap pedagang warga negara Daulah Islamiyah.
Akan tetapi, semua ini sama sekali tidak berarti bahwa politik pasar bebas itu sesuai dengan Islam, yang berarti tidak ada larangan untuk terikat dengannya. Sebab, kalaulah seba-gian hukum-hukum Islam itu mirip dengan hukum-hukum pada sistem lain dalam beberapa segi, hal itu tidak berarti kaum muslimin boleh mengambil hukum-hukum non Islam.
Jadi, kaum muslimin tetap tidak boleh mengambil hukum-hukum non Islam dengan alasan mengandung kemi-ripan dengan hukum-hukum Islam. Begitu pula sebaliknya, kaum muslimin tidak boleh memberi¬kan sifat-sifat kekufuran kepada sistem Islam hanya karena adanya kemiripan antara Islam dengan aspek-aspek tertentu dalam ideolo¬gi-ideologi lain.
Perbuatan keliru seperti itu pernah dilakukan oleh sementara orang. Penyair Ahmad Syauqi, misalnya, pernah menyifati Islam sebagai sistem yang sosialistis. Dalam se-buah syairnya yang dia tujukan untuk Rasulullah saw, dia berkata :
الإِشْتِرَاكِيُوْنَ أَنْتَ إِمَـامُهُمْ
"Engkau, wahai Rasulullah, adalah pemimpin orang-orang Sosialis."
Kesalahan serupa juga diperbuat oleh sebagian kaum muslimin, yang telah menyifati syura --yang memang diseru-kan oleh Islam-- sebagai prinsip Demokrasi.
Tindakan seperti itu sangat keliru, sebab setiap ajaran yang ada dalam Islam tiada lain adalah Islam semata. Bukan Sosialisme, bukan Demokrasi, atau apa pun. Lagipula, Islam itu sendiri sudah lebih dulu ada di muka bumi ini sebelum lahirnya Sosialisme dan Demokrasi-Kapitalis.
Atas dasar ini, kaum muslimin wajib menolak Politik Pasar Bebas karena strategi ini bertentangan dengan Islam, baik ditin¬jau dari segi pandangan dasar yang melahirkannya dan asas-asas pijakannya, maupun dari segi berbagai kemu-dlaratan besar yang akan terjadi akibat adanya keterikatan kaum muslimin dengan strategi itu.
Tindakan mengikatkan perekonomian negeri-negeri muslim dengan perekonomian negara-negara Kapitalis yang melaju dengan amat cepat, adalah tindakan gegabah yang sangat berbahaya. Sebab, hal ini akan menghalangi pem- bangunan ekonomi Dunia Islam di atas basis-basis yang kokoh, dan di samping itu akan memberikan kesempatan luas kepada kaum kafir untuk mempertahankan ceng- keramannya atas kaum muslimin dan negeri-negeri mereka.